Saturday, February 14, 2009

OBSESI SYUHADA

Usianya mungkin sudah menginjak 60 tahun lebih. Tetapi semangatnya tak pernah kalah dengan anak-anak muda yang masih belasan tahun. Penampilannya juga tak menunjukkan bahwa ia adalah seorang tua renta yang mestinya tinggal di rumah dan menunggu kematiannya. Kata-katanya tegas, bernas, dan sesekali dihiasi oleh hujjah-hujah Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah. Tatapan matanya tajam penuh kharisma. Sambil menghisap batang demi batang rokok GG mini kesukaannya. Lalu sedikit mendekat ke arahku, beliau berkata:
“Nak! kematian itu pasti datangnya. Tapi kitalah yang sejak awalnya harus merencanakan bagaimana kematian itu menjemput kita. Meskipun Allah jua yang menentukan kesudahannya. Karena itu, jauh di dalam kehendak jiwaku, saya ingin mati syahid di jalan Allah, bukan jalan yang selainnya!”.


Sejenak aku tertegun mendengarkannya. Sebuah pengakuan yang semakin membuatku memahami mengapa ia tak pernah lelah memberikan nasihat-nasihat kebaikan kepada setiap orang yang ditemuinya. Sebuah penjelasan tentang obsesi yang telah terangkum menjadi energi hidup luar biasa dan telah jauh melampaui kekuatan usianya. Sebuah rahasia kehidupan yang mampu menjelaskan mengapa para pahlawan-pahlawan Islam itu terlahir dengan mahakarya-mahakarya yang tiada duanya. Sebab obsesi syuhada itulah yang mengobarkan semangatnya, membakar jiwanya dan membentuk tatapan mata yang selalu menyala.

Tapi obsesi itu tak akan lengkap tanpa kesadaran yang lain. Bahwa manusia memang berhak merencanakan arah hidupnya, namun Allah jualah yang mengukir garis takdirnya. Oleh karena itulah orang-orang yang jiwanya dipenuhi obsesi syuhada itu, pada saat yang sama telah mengikhlaskan pula kesudahan dari hidup mereka di tangan Allah. Mereka begitu memahami, segarang apapun seorang Khalid bin Walid di medan peperangan, tapi kematian justru menjemputnya di atas pembaringan. Tapi bahwasanya jiwa Khalid telah dipenuhi oleh obsesi kesyahidan telah pun ia buktikan dengan luka-luka peperangan yang memenuhi sekujur tubuhnya.

Dan aku cemburu! Aku cemburu pada obsesinya yang tak sepadan dengan usianya yang telah renta. Aku cemburu pada kekerdilan obsesiku yang belum bisa menyala, bahkan hanya untuk menopang jiwaku yang selalu lelah, selalu kalah. Padahal aku telah memahami dengan baik nasihat-nasihat Rasulullah tentang obsesi syuhada. Bahwa kematian seorang mu’min yang tidak pernah membangun obsesi syahid fii sabilillah di kedalaman jiwanya, adalah kematian yang sia-sia. Na’udzu billah…

Lalu beliau menutup percakapan kami senja itu dengan sebuah nasihat: “Nak! Jangan pernah hidup dalam kebohongan. Hentikan berbohong, maka kau akan bahagia…”. Sebuah nasehat yang lain. Nasihat yang semakin menguatkan pesan moral yang sedang beliau ajarkan kepadaku. Bahwa keterhormatan kita dalam hidup ini, hanyalah dengan kejujuran kepada diri sendiri, kepada Allah, juga kejujuran pada manusia seluruhnya…

Terima kasih, Pak Haji…

2 comments:

Umi Rina said...

Assalamu'alaikum...

Betul sekali bahwa di jiwa seorang Mukmin harus ada semangat syuhada, dan semangat itu harus direalisasikan, diamalkan.

Amal tanpa ilmu adalah tidak bersandar, dan ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Dan ilmu dan amal harus bernafaskan pada niat yang ikhlas lillahi ta'ala...

Muhammad Bustaman said...

iya neh bang kita biasa bercita2 untuk menjadi syuhada tapi jarang sekali berusaha untuk menyiapkan diri untuk mejadi syuhada.
seperti orang yang niat berhaji tapi sedikitpun tak pernah iya menabung untuk berangkat haji.hanya sebatas niat sj.
kalo dia berniat dan bersungguh-sungguh, maka akan dimudahkan oleh Allah. sebagaimana kisah seorang reparasi payung yang penghasilannya cuma 10rb sehari. secara logika berapa lama kah dia menabung baru bs berangkat haji?? tapi karena kesungguhannya, maka Allah membuka jalan untuknya.
:D

Post a Comment