Wednesday, June 03, 2009

KILL THE PAIN

Aku kurang yakin apakah judul di atas sudah tepat grammar-nya. Yang pasti, melalui tulisan ini aku ingin mencoba memahami apa yang berkecamuk dalam pikiran orang-orang berperilaku tak biasa di sekitar kita. Mengapa seorang ibu tega menyewakan bayinya untuk dipakai mengemis dan meminta-minta? Mengapa seorang Bapak rela melihat anaknya yang masih belia melakukan pekerjaan keras orang-orang dewasa? Mengapa seorang suami sanggup melihat istrinya menjadi kuli? Mengapa seorang gadis muda yang masih memiliki asa masa depan yang panjang mau menjual diri?

Dalam ruang yang berbeda, aku coba menyelami perilaku tak biasa itu dalam milio yang lebih dekat disekitarku. Mengapa sebuah keluarga yang masih sangat baru dapat bertahan dalam jarak-jarak yang memisahakan dengan rentang waktu yang lama. Sang suami di kota A, sang istri di kota B, sang anak belia di kota C, dengan jarak yang begitu jauh. Apakah tidak ada rasa perih yang menyayat-nyayat jiwa mereka? Apakah senyum yang terukir di wajah-wajah polos mereka sungguh adalah senyum yang sebenarnya?



Ternyata tidak!

Hati mereka juga perih. Jiwa mereka juga berontak. Nurani mereka pun teriak. Dan akumulasi perasaan itu terkadang meledak dalam ruang-ruang yang sepi, saat sendiri, mengalir bersama derasnya air mata yang menganak sungai di wajah mereka. Tapi tak ada yang tahu. Dan tak perlu ada yang tahu. Hingga terbersit berjuta-juta sesal dalam jenak-jenak pikirannya yang ambigu. Lalu berandai-andai, tentang esok yang mungkin berbeda dengan hari ini, kemarin dan kemarinnya lagi. Dan kembali menyesali diri atas kelemahannya yang tak pernah mampu merubah keadaan…

Sahabat, ternyata mereka pun sakit. Tapi apa yang membuat mereka itu mampu bertahan dengan rasa sakit yang begitu dalam dengan rentang waktu yang sangat lama? Mereka semua melakukan hal yang sama, Kill The Pain! Ya, mereka telah membunuh rasa sakit itu. Membuat mereka terlihat tegar seperti biasa. Seperti karang yang berdiri kokoh menghadang laju gelombang ujian hidup yang tak ada habisnya. Dan tak pernah ada yang tahu apa yang berecamuk dalam pikirannya. Tak pernah ada yang mengerti suara yang berteriak-teriak dalam jiwanya. Tak ada yang mampu membaca rasa sakit yang tergambar dari sorot matanya. Tak ada yang tahu, dan tak perlu ada yang tahu…

Sahabat, siapa yang tahu jika suatu saat takdir kita akan seperti mereka? Sebab kehidupan adalah kumpulan misteri dan kejutan-kejutan yang tak pernah ada rumusnya. Hari ini hidup kita begitu sempurna, mungkin esok ceritanya akan berbeda. Perpindahan-perpindahan yang telalu mudah bagi Allah untuk mempergilirkannya. Sejarah manusia dan peradabannya telah bercerita tentang itu semua. Dan mereka yang sanggup melaluinya hanyalah orang-orang yang berkarakter dan mampu membunuh rasa sakit pada ruang-ruang tertentu dalam dirinya. Ya, Kill the Pain, adalah salah satu jawabannya…

6 comments:

Anonymous said...

Bang, sepertinya ini pengalaman hidupku, mungkin juga Abang, dan mungkin banyak orang-orang di sekitar kita. Jujur, aku pun telah membunuh sebagian perasaanku, agar tidak tersiksa pada kenyataan pahit yang hadir dalam hidup ini. Makasih postingannya Bang!

andi has said...

tapi belum bisa ka' membunuh rasa sakitku kak, hehehe

Bang Irwan said...

Nah itulah kesalahan terbesar ente akhi, krna rasa sakit itu ente tumpuk terus, dan lama2 menjadi dendam... akhirnya, atas nama sakit hati, mudur dah jadi Sekjen BEM... hmm..hm... melow...hehehhehe

Anonymous said...

No pain No gain.Ternyata kita perlu sakit agar Allah berbicara dengan caraNya sendiri kepada kita. Tapi saya setuju, tidak perlu ada yang tahu seberapa sakitnya kita. Cukuplah Allah penenang jiwa

Abu Azzam
Assalamu3lykum Akhi, I miss u so much

novita said...

makasih kk', spertinya saya yang alami itu tp seperti yang kita bilang "membunuh rasa sakit" allah t4 kembali yang sangat tepat.
syukran.........

Bang Irwan said...

@ Abu Azzam:
Ahlan akhi, uhibbuka fillah...

@ Novita:
Yah, begitulah hidup de'. Hanya saja, jangan pernah kill the pain untuk masa yg terlalu panjang, sebab ia bisa berubah menjadi matinya nurani & sensitifitas. Seperti anak2 yg tumbuh d jalanan, sebagian besar ketika dewasa mereka kehilangan sensitifitas... Kersnya hidup telah merubah mereka...

Post a Comment