Wednesday, February 24, 2016

MAKASSAR MENUJU SMART CITY

Istilah Smart City atau Kota Pintar bukan lagi istilah baru di era digital sekarang ini. Berbagai kota besar di dunia telah menerapkannya sejak lama, terutama kota-kota besar di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Indonesia sendiri konsep Smart City telah diadopsi secara bertahap di bebarapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan juga Makassar. Smart City secara sederhana dapat diartikan sebagi upaya sebuah kota memanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan menghubungkan berbagai sistem yang kompleks di dalamnya untuk mengatasi persoalan-persoalan pelayanan publik, mewujudkan kualitas hidup warganya dan menciptakan pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah Kota Makassar di era kepemimpinan Bapak Mohammad Ramdhan Pomanto telah menjadikan implementasi Smart City sebagai salah satu milestone menuju visi Makassar Kota Dunia. Banyak kalangan yang optimis dengan program ini, namun tidak sedikit pula yang pesimis. Oleh karena itu penulis ingin mengurai secara singkat dan sederhana peluang, harapan dan tantangan dibalik implementasi konsep Smart City di Kota Makassar ini dengan merujuk pada pembagian enam dimensi Smart City menurut IBM.

Pertama, Smart Economy 

Kota Makassar saat ini telah menjadi icon pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut data, laju pertumbuhan ekonomi Kota Makassar dalam lima tahun terakhir di atas sembilan persen. Bahkan pada tahun 2015 laju pertumbuhan ekonominya menembus angka 9,6 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa seperti ini, Makassar akan menjadi surga bagi para investor, yang artinya akan melahirkan ribuan lapangan kerja baru yang tentu saja akan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan warga Kota Makassar.

Implementasi Smart City dalam iklim ekonomi seperti ini bukan hanya menjadi daya tarik dan kebutuhan investor untuk berdayasaing (comvetitive), tetapi juga akan memicu lahirnya berbagai inovasi dan peluang-peluang bisnis baru, terutama industri kreatif yang saat ini pertumbuhannya mencengangkan dunia. (Lihat Orange Economy, Felipe Buitrago Restrepo & Ivan Duque Marquez)

Kedua, Smart People

Salah satu alasan pesimisme sebagian orang terhadap implementasi Smart City adalah kekhawatiran akan ketidaksiapan warga kota dalam beradaptasi sehingga melahirkan kesenjangan digital (digital gap). Tetapi jika kita merujuk pada riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2014, jumlah pengguna internet di Sulawesi Selatan tergolong cukup tinggi secara nasional, yaitu berkisar 3,7 Juta atau 44 persen, dengan pengguna terbesar ada di Kota Makassar. Ini merupakan daya dukung yang cukup memadai untuk implementasi Smart City yang berbasis internet.

Namun demikian, jumlah warga yang melek internet saja tidak otomatis membuat implementasi Smart City dapat berjalan sukses. Yang tak kalah penting untuk dimiliki oleh warga kota adalah kesadaran akan pemanfaatan Smart City, baik untuk meningkatkan kesejahteraan mau pun partisipasi mereka dalam mewujudkan pelayanan publik yang transparan dan berkualitas. Maka salah satu tugas penting pemerintah Kota Makassar dalam mewujudkan Smart People dalam bingkai Smart City adalah gerakan penyadaran dan edukasi warga tentang manfaat dan peluang dibalik implementasi Smart City.

Ketiga, Smart Governance

Dari enam dimensi Smart City oleh IBM, bagi penulis mungkin inilah dimensi yang paling berat dan membutuhkan kerja keras Walikota dalam mewujudkannya. Berat sebab yang harus diubah adalah budaya kerja yang telah berakar kuat dalam sistem birokrasi pemerintahan. Konsep Smart City mengharuskan budaya kerja baru dalam pelayanan berupa akuntabilitas, pemberdayaan, partisipatoris dan transparansi. Warga kota berhak tahu dan terlibat di dalam penyusunan kebijakan yang akan mengatur kehidupan mereka.

 Selain budaya kerja, Smart City juga menuntut pengetahuan dan keterampilan baru, khususnya Cloud Computing System, bagi para penyelenggara layanan publik. Percuma berteknologi tinggi jika Brainware sang operator layanan tidak kompatible dengan perangkat teknologi yang mendukungnya. Sehingga tugas berat pemerintah kota dalam dimensi ini adalah memastikan terwujudnya perubahan budaya kerja birokrasi dan peningkatan kapasitas penyelenggara layanan publik melalui pendidikan dan pelatihan berkesinambungan.

Keempat, Smart Mobilty

Saat ini kemacetan memang masih menjadi masalah serius Kota Makassar. Jika tidak diatasi segera, terwujudnya Smart Mobility di dalam Smart City rasanya akan percuma. Semudah apa pun akses warga terhadap transportasi publik melalui applikasi smartphone misalnya, tetap saja akan terasa kurang nyaman jika kemacetan terjadi dimana-mana. Tapi kabar baiknya, penulis selaku orang yang terlibat di dalam penyusunan RTRW Kota Makassar tahun 2015-2034 memahami betul bahwa upaya untuk menyelesaikan persoalan kemacetan kota Makassar telah tertuang jelas dalam dokumen masterplan kota Makassar tersebut. Selain rencana pembangunan ruas jalan baru ( termasuk midle ring road dan outer ring road) dan jalan layang di pusat kota, juga perencanaan moda transportasi baru seperti monorail dan transportasi sungai cukup memberikan harapan akan terwujudnya Smart Mobility di dalam Smart City. Terlebih lagi proyek pembangunan jalan-jalan tersebut telah dimulai secara massif sejak setahun yang lalu. Jika trend pembangun jalan-jalan tersebut berlangsung simultan, maka tidak tertutup kemungkinan Makassar bebas macet dapat terwujud dua sampai tiga tahun ke depan.

Kelima, Smart Environment

Kota Makassar terus berkembang sebagaimana kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, berbagai persoalan lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran air tanah, dan pengelolaan sampah menjadi isu yang terus muncul untuk diselesaikan oleh pemerintah. Bagi penulis, penerapan Smart Environment akan menjadi salah satu solusi bagi berbagai persoalan lingkungan tersebut. Pengukuran kualitas lingkungan (termasuk air dan udara) secara digital dan otomatis akan membantu pemerintah dalam merumuskan berbagai kebijakan lingkungan. Termasuk mengoptimalkan partisipasi warga dalam menjaga dan memelihara kualitas lingkungan hidup kota. 

Untuk mewujudkan Smart Environment, pemerintah perlu menciptakan lingkungan virtual komputasi, lingkungan fisik dan lingkungan manusia yang memadai. Lingkungan virtual komputasi adalah tersedianya lingkungan yang memungkinkan semua smart devices dan komputasi dapat mengakses layanan kapan dan dimana saja. Lingkungan fisik mencakup semua perangkat mobile yang mendukung seperti sensor, chip, nano, controller, dll. Sedangkan lingkungan manusia mencakup semua pengguna, pengembang aplikasi, software dan hardware yang mewujudkan layanan Smart Environment. Kesemua syarat ini perlu diintegrasikan oleh pemerintah melalui kerjasama dengan sektor privat dan sektor ketiga (Komunitas).

 Keenam, Smart Living

Smart Living adalah terciptanya kualitas hidup (Quality of Life) dan budaya yang lebih baik dan smart. Pemerintah sebagai pemberi layanan harus memastikan tersedianya tiga hal dalam mewujudkan Smart Living ini, yaitu: Satu, tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kedua, tersedianya sarana dan prasarana informasi terkait berbagai potensi wisata kota, termasuk peta online, harga penginapan, jalur transportasi, dan informasi seputar buadaya lokal. Ketiga, tersedianya infrastruktur teknologi informasi yang meamdai sehingga semua layanan publik dapat diakses dan berjalan dengan baik, termasuk meamastikan adanya SDM handal dibalik semua layanan tersebut. Harus diakui, untuk point Smart Living ini pemerintah kota masih harus meningkatkan kualitas SDM-nya, terutama mereka yang bergerak di bidang kepariwisataan yang merupakan front officer kenyamanan kota Makassar.

 Dari paparan keenam dimensi Smart City di atas, penulis meyakini bahwa implementasi Smart City di Kota Makassar sangat memungkinkan untuk berjalan sukses, mengingat hampir semua fundasinya telah tersedia. Hanya saja, untuk memastikan program tersebut berjalan baik dan benar-benar menjadi milestone terwujudnya Kota Dunia, semua pihak, terutama Bapak Walikota dan birokrasi pemerintahan yang dipimpinnya harus memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan terutama dari sisi budaya kerja dan mental birokrasi. Sebagai mitra pemerintah di DPRD Kota Makassar, penulis meyakini bahwa ide Smart City dan Kota Dunia bukanlah sesuatu yang utopis sepanjang ide-ide tersebut diwujudkan dengan langkah-langkah nyata, mulai dari sekarang. Wallahu ‘Alam...

0 comments:

Post a Comment