Tuesday, January 26, 2010

LAKON KITA, CINTA...


Cinta,
entah berapa banyak lagi air mata itu harus tumpah,
entah seberapa deras lagi haru birumu itu mengalir,
pada langgam kisah kita yang warna warni bak pelangi,
pada deburan rasa dan gemuruhnya yang menghantam tebing-tebing hati,
pada lakon kita yang sering ambigu itu, Cinta...

Cinta,
jangan kau halangi air mata itu tumpah,
mencari jalan-jalan kedamaiannya di atas bumi,
sebab pundak ini pun tak sanggup memikul beban asa yang menggulung dalam setiap tetesannya,
meski tangan yang rapuh ini selalu ada untuk menyeka jejak kecewanya...

Cinta,
inilah jalan kita,
terjal dan berliku adanya,
jauh dan mendaki jaraknya,
kerikil tajam dan tebing curam piguranya,
bahkan menatapnya saja terkadang melahirkan putus asa,
tapi itulah pilihan jalan kita, Cinta...

Cinta,
hidup ini indah,
kau hanya perlu membuka mata 'tuk melihat rahasianya,
agar kaki-kaki yang rapuh itu tak lagi ragu melangkah,
agar hati yang mudah terluka itu senantiasa terjaga,
agar air mata itu mengalir ke telaga bahagia, bukan tangis putus asa...

Cinta,
inilah jalan kita...

(dalam perenungan panjang tanpa arah) 6 Agustus 2009 at my FB


Read More ..

Monday, January 25, 2010

KETENANGAN HIDUP

Suatu ketika teman kantor saya bertanya, “Wan, kenapa kamu selalu kelihatan tenang?”. Saya menjawabnya hanya dengan melempar senyum. Tersenyum oleh pujian teman saya itu. Momentumnya kemudian berlalu. Tetapi pertanyaan kawan saya itu terus menggelayut dipikiran selama berhari-hari. Sepertinya ada yang tidak tuntas pada cara saya menyikapi pertanyaan itu. Mungkin hanya sebuah pertanyaan basa-basi, atau sekadar cara seorang sahabat memuji. Tapi sesungguhnya pertanyaan itu telah mendekonstruksi pemahaman dan keyakinan saya tentang ketenangan hidup.

Sahabat,

Ketenangan hidup itu adalah impian dan harapan setiap orang. Kesanalah muara semua perjuangan hidup manusia di muka bumi ini. Sebuah keadaan yang damai dan jauh dari ketegangan-ketegangan. Ratusan bahkan ribuan buku ditulis untuk menuntun manusia mendapatkannya. Bahkan sebagian manusia rela mengorbankan apa saja untuknya. Ada yang harus menanggalkan jabatannya, atau meninggalkan keluarganya, demi sebuah ketenangan hidup. Ada juga orang yang rela melakukan perjalanan jauh melintasi benua hanya untuk menemukan ketenangan hidup. Juga ada yang memilih mengisolasi diri dari bisingnya interaksi manusia hanya untuk merasakan nikmatnya ketenangan hidup. Sebab disanalah dahaga jiwa menemukan mata air kebahagiaannya.

Tapi sahabat,

Mungkin ada yang perlu kita maknai ulang dari ketenangan hidup itu. Sebab ketenangan itu bisa jadi jebakan. Jebakan untuk memaksa jiwa berhenti mengalir. Jebakan yang dapat membuat pikiran berhenti mengembara. Seperti air di dalam nampan, tenang, dan berhenti menciptakan jeram. Lalu akhirnya membusuk oleh sampah-sampah kehidupan. Seperti itulah, ketenangan dapat menjadi akhir dari perjuangan. Mematikan obsesi untuk bergerak dan berubah. Mengekang jiwa agar berhenti bercita-cita. Membiarkan segalanya terjadi begitu saja disekitar kita. Seperti para sufi yang bibirnya terus basah oleh lantunan dzikir sementara darah ummatnya terus mengalir oleh tebasan pedang para durjana. Mereka hidup tenang di alam jiwa, sementara kerusakan di muka bumi telah sedemikian parah…

Sahabat,

Inilah yang ku takutkan. Inilah yang kutakutkan dari ketenangan yang dipertanyakan oleh kawanku tadi. Jangan-jangan diri ini memang sudah sedemikian tenang, sehingga mata tak dapat lagi melihat ketidak adilan yang terjadi. Jangan-jangan, telinga ini pun telah tuli dari teriakan dan isak tangis mereka yang terdzalimi. Jangan-jangan, jiwa ini sungguh tak gelisah lagi pada berbagai kerusakan di muka bumi. Jangan-jangan, kaki ini pun telah lelah berlari dan memilih berhenti. Disini, dalam damainya ketenangan…

Ada yang menangis disini, kawan! Di dada ini! Ketika kenyamanan telah meninabobokkan jiwa pejuang dalam diri kita. Ketika hujan fasilitas telah memadamkan bara amarah idealisme kita. Ketika badai fitnah menghentikan gelora obsesi kita. Sebab tiba-tiba semuanya menjadi tenang, senyap dan sunyi. Menenggelamkan suara-suara serak yang ingin berteriak. Dan menurunkan telunjuk yang ingin terus mengacung menantang raja bajingan di tengah bangsa kita ini. Lalu meluncurlah berjuta justifikasi dari pikiran yang tak lagi jernih, agar diri ini seolah-olah tetap tampak suci.

Sahabat,

Berhati-hatilah dengan ketenangan hidup. Kesanalah jiwa ini ingin berlabuh. Tetapi bukan untuk mengentikan geloranya. Kesanalah hati ini ingin singgah. Tetapi bukan untuk membunuh obsesi-obsesinya. Ketenangan hidup itu adalah suluh yang membantu kita menemukan jalan ditengah kegelapan. Seperti mercusuar yang menuntun kita ditengah badai kehidupan. Agar kita tidak terjatuh oleh banyaknya tantangan hidup yang datang silih berganti. Atau pun jebakan-jebakan yang terbentang disepanjang jalan. Maka bangkitlah sobat. Kobarkan amarah idealisme dan gelora perjuangan. Katakan tidak untuk setiap kedzaliman dan ketidakadilan. Sebab disini, kau hanya berada diantara dua pilihan, hidup mulia atau mati sebagai syuhada!

Read More ..

Tuesday, January 05, 2010

GODAAN KESUKSESAN

Siklus sejarah peradaban setiap bangsa senantiasa berganti, antara masa kebangkitan dan masa-masa kejayaan. Masa kebangkitan diawali dengan krisis, penderitaan, keterjajahan, dan ketakberdayaan. Oleh karena itulah masa-masa ini diwarnai dengan semangat kebangkitan, gelora perlawanan, kelahiran para pemberani dan parade para pahlawan sejati. Di masa inilah, darah, keringat dan air mata bercampur menjadi satu membentuk mozaik indah yang menghiasi hari-hari kebangkitan bangsa itu.

Sementara di masa kejayaan, semuanya berawal dari kebebasan, tingginya kesejahteraan dan tegaknya keadilan. Semuanya damai dan berkecukupan. Di masa-masa seperti inilah ibu pertiwi sebuah bangsa terlalu malas melahirkan para pahlawan. Manusia luar biasa menjadi langka, sebab semua orang telah cukup menjadi manusia biasa-biasa saja. Dan di titik ini, sejarah telah mencatat awal mula kejatuhan dan keruntuhan berbagai peradaban yang pernah jaya. Justru di titik, ketika yang dibutuhkan adalah maha karya…


Sahabat, seperti itu juga kehidupan setiap diri kita. Ada masa perjuangan dan juga masa-masa kesuksesan. Masa perjuangan diawali dengan kekurangan, kemiskinan, ketiadaan, penderitaan, perih dan juga tangis. Oleh karena itu di masa-masa seperti ini jiwa kita dipenuhi oleh semangat kedisiplinan, kerja keras, pengorbanan, obsesif, pantang menyerah, bahkan sedikit mati rasa. 24 jam sehari semalam rasanya terlalu sedikit untuk menampung besarnya energi jiwa yang meledak setiap harinya. Dan di setiap penghujung hari-hari itu, ada air mata yang senantiasa mengalir sebagai penawar dahaga jiwa. Ada pundak yang selalu setia menjadi sandaran kepala yang tertunduk letih. Ada senyum yang menampung segudang keluh kesah yang warna-warni. Juga ada sebait do’a untuk keberkahan di hari esoknya…

Sementara masa kesuksesan, adalah musim panen dari benih-benih ikhtiar yang telah ditanam. Di masa ini rasanya setiap “kebutuhan” telah terpenuhi, meskipun daftar panjang “keinginan” tak pernah ada habisnya. Tak ada kesedihan, juga tangis getir penderitaan. Oleh karena itu pekerjaan sebagian besar orang dimasa-masa kesuksesan adalah manajemen keinginan. Menata sedemikian banyak keinginan yang mendesak di alam pikiran. Tapi, disinilah letak godaannya sobat. Sebab sebagian besar keinginan yang mendesak itu justru kesenangan-kesenangan yang segera dan jangka pendek. Semuanya tentang pemenuhan hasrat akan kelas sosial, pujian, mode, gaya hidup, kenyamanan, kemudahan, dan kebanggaan-kebanggaan material. Di titik ini, idealisme dan kreatifitas pun mati suri.

Pantaslah Baginda Rasul pernah memberi nasehat:

“Maka demi Allah ! Bukanlah kemiskinan yang aku takutkan atas kalian tapi yang kutakutkan adalah akan dibentangkannya dunia, seperti dibentangkannya atas orang-orang sebelum kalian, maka kalian akan berlomba-lomba padanya (dunia) seperti halnya mereka, dan dunia itupun akan mengahancurkan kalian, seperti yang telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian.” (Bukhari & Muslim).

Sahabat, setidaknya nasihat ini mengandung 2 pesan buat kita semua. Pertama, bagi kita yang sedang berada di masa-masa perjuangan, maka bersabar dan bersyukurlah. Sebab sebagian besar pikiran dan waktu kita cenderung digunakan untuk kebaikan-kebaikan. Ada obsesi yang menuntun kita untuk fokus dan tidak macam-macam. Ada idealisme yang membingkai sikap dan perilaku kita untuk konsisten dan memelihara integritas. Ada mimpi yang menjadi energi pendorong dikala raga ini letih, atau saat jiwa ini putas asa. Kita hanya perlu berjanji untuk tidak berhenti, ketika ujian-ujian yang datang semakin berat dan keras. Merenggut kesenangan dan kenyamanan kita. Sebab setelah itulah cahaya harapan akan menyinari jalan-jalan kesuksesan buat kita.

Kedua, bagi kita yang tengah berada di masa kesuksesan, maka bersyukur dan waspadalah. Sebab dengan bersyukur itulah segalanya menjadi berkah. Di masa-masa seperti inilah jebakan-jebakan kesenangan senantiasa hadir di sepanjang jalan. Jika tidak waspada dan hati-hati, setiap saat kita dapat tergelincir dan jatuh. Keberkahan itulah yang dapat menyelamatkan kita sobat. Keberkahan itulah yang menyinari hati untuk selalu merendah. Keberkahan itulah yang menjaga hasrat agar tetap terkendali. Keberkahan itulah yang tetap menumbuhkan cinta dalam jiwa kita, mengikatkan tali ukhuwah kita, mengeratkan persaudaraan kita. Keberkahan itulah yang membuat segalanya tetap biasa dan indah.

Sahabat, teorinya memanglah mudah, tapi melaksanakannya sungguh berat luar biasa. Menjaga integritas dan idealisme di tengah tekanan dan himpitan hidup bukanlah perkara mudah. Sebagaimana tidak mudahnya tampil sederhana ditengah kelebihan dan keberlimpahan harta. Tetap tegak dan melukis senyuman disaat kehilangan tentu perkara sulit. Sebagaimana sulitnya menahan godaan syahwat disaat peluang dan kesempatan di depan mata. Namun bukan berarti tidak mungkin, sobat!

Read More ..

Friday, January 01, 2010

GORESAN SENJA

Seperti inilah setiap tahun. Hari berganti, meninggalkan jejak-jejak sunyi. Semuanya berulang, dan terus berulang. Yang berbeda hanyalah usia yang terus bertambah, umur yang makin pendek dan pahatan-pahatan amal yang menghias lembar sejarah kita setahun penuh. Yang lainnya sama. Diawali dengan Januari dan diakhiri dengan Desember. Semuanya sama. Seperti hari-hari pun terus berulang. Ahad hingga Sabtu, lalu esoknya Ahad lagi…


Sahabat, seperti itulah kenyataannya. Pergantian tahun hanyalah seremonial rutin yang selalu sama di awal dan akhirnya. Yang berbeda hanyalah bagaimana kita memutuskan untuk mengisinya. Ada 12 bulan yang harus kita tuntaskan di dalamnya. Ada 52 pekan yang harus kita lewati. Ada 366 hari yang mesti kita lalui. Ada 8.784 jam yang menjadi ruang-ruang kosong untuk diisi. Lalu, dengan apakah kita telah mengisinya, Sobat?

Sahabat, entah seperti apa tahun yang baru saja kita lalui itu. Entah seperti apa warna dan rasanya. Entah sedalam apa jatuhnya atau setinggi apa menjulangnya. Yang pasti, tetap saja kita harus berbenah. Menghitung ulang semua perencanaan dan mimpi-mimpi kita. Sebab hari-hari yang lewat itu tentu saja tak sepenuhnya sama dengan keinginan kita. Tak selalu sebangun dengan impian kita. Maka pergantian tahun itu seharusnya menjadi momentum untuk kita menata ulang segalanya. Sebagaimana pergantian bulan itu adalah momentum mengukur target rencana, dan pergantian hari itu sebagai momentum mengevaluasi kinerja. Begitulah seterusnya sobat, berulang dan terus berulang dalam hidup kita, hingga siklus itu berakhir diujung takdir yang tak jelas kapan hadirnya…

Untukku, tahun lalu itu adalah transisi. Sebuah masa yang panjang dalam penggalan waktu yang serba abu-abu. Tak pasti ingin menjadi apa dan akan jadi siapa. Tradisi menghilang, obsesi melayang, pikiran kusut dalam kekalutan. Hari-hari yang begitu berat. Malam-malamnya terasa penat. Mata terpejam hanya sekejap. Bahkan kesadaran selalu terjaga dalam siklus siang malam yang rasanya tak akan pernah berakhir. Tarikan egoisme terkadang begitu kuat, meluluh lantakkan makna ukhuwah dan mencerabut akar-akar itsar yang seharusnya tegak menjulang dalam akhlak dan sikap.

Tapi diujungnya, tahun lalu itu adalah titik balik. Sebuah momentum yang mengubah segalanya. Dari nyala asa yang redup dan temaram, menjadi kobar api yang menghidupkan harapan. Dari pekatnya arah ketidak pastian, menjadi setitik cahaya yang menuntun perjalanan. Dari obsesi-obsesi yang berkecamuk di alam pikiran, menjadi peluang untuk melahirkan maha karya di alam kenyataan. Semuanya berubah. Memaksa ku untuk kembali berbenah. Menata ulang cara pandang tentang kehidupan dan masa depan…

Sahabat, seperti itulah kehidupan selalu meninggalkan makna. Dalam setiap jejaknya yang telah hilang oleh pergantian masa. Dari jejak peristiwanya lahir para pahlawan. Tapi dari perenungan atas makna-makna dibaliknyalah orang-orang bijak dibesarkan. Dan alangkah indahnya, ketika kita mampu menjadi bagian dari parade panjang para pahlawan itu, sekaligus memiliki kebesaran orang-orang bijak yang dimuliakan…

Read More ..