Friday, October 31, 2008

MENIKMATI KEKALAHAN

Sahabat, bagi hampir semua orang kekalahan adalah sesuatu yang menyakitkan, termasuk kita mungkin. Biasanya hanya orang-orang yang sejak awalnya sudah kalah sajalah yang tidak ambil pusing dengan kekalahan. Orang-orang yang berjuang dengan setengah-setengah, dan telah mengibarkan bendera putih jauh sebelum peperangan di mulai. Tapi bagi mereka yang total, yang memutuskan untuk berjuang sampai tetes darah penghabisan, kekalahan menjadi sebuah cerita sunyi yang menyakitkan.

Sahabat, sakit saat menghadapi kekalahan adalah persitiwa manusiawi. Sangat manusiawi. Tetapi bagaimana memaknai dan menyikapi kekalahan itulah yang membedakan seorang pahlawan dan pecundang.

Para pahlawan memaknai kekalahan sebagai bagian kecil dari sebuah pertarungan. Kekalahan hayalah anak-anak tangga dari sebuah tujuan raksasa yang disebut kesuksesan. Bagi mereka kekalahan adalah bunga-bunga perjuangan. Oleh karena itu sikap mereka menghadapi kekalahan tak pernah berlebihan. Mungkin ketika peristiwa kekalahan itu datang mereka sempat terpuruk, sejenak, seperti gemetarnya tubuh sesorang oleh sengatan listrik berdaya rendah. Lalu kemudian mereka tersadar dan bekerja kembali menuntaskan apa yang telah mereka mulai…

Tapi bagi para pecundang, kekalahan adalah akhir segalanya. Kekalahan adalah aib hidup yang begitu membebani. Oleh karena itu sikap mereka menghadapi kekalahan begitu berlebihan. Ada penyesalan. Ada dendam. Ada kebencian. Bahkan sumpah serapah kepada dunia dan seisinya, bahkan juga Tuhan…

Sahabat, satu sisi dari kekalahan harus kita maknai. Tapi sisi yang lain harus kita nikmati. Seperti seorang Edmund Hillary ketika gagal menaklukkan Mount Everest, gunung tertinggi di dunia. Edmund turun ke kaki gunung dengan tersenyum. Sambil menikmati secangkir kopi panas, Edmund menatap Mount Everest hingga ke puncaknya yang tak pernah kelihatan dari bumi. Mengagumi seluruh sisi dari gunung yang telah mengalahkannya hari ini. Lalu dia berjanji dengan mesra kepada Mount Everest: “Suatu saat, aku pasti menaklukkanmu!”. Pada tanggal 25 Mei 1953, Edmund Percival Hillary menjadi manusia pertama yang menaklukkan Mount Everest, puncak tertinggi pegunungan Himalaya. Itulah hasil dari kekalahan yang dinikmati.

Sahabat, mari menikmati kekalahan…
Read More ..

Wednesday, October 29, 2008

HUJAN YANG INDAH

Meski belum masuk bulan Nopember, tapi rasanya hujan sudah mengawali musimnya. Seperti tahun-tahun kemarin, musim hujan selalu datang bersama berkah, basah, juga musibah. Berkah, sebab itu berarti masa-masa krisis air akan segera lewat. Hidup bisa normal kembali. Mandi bisa teratur. Dan bau badan, bisa dikurangi. Juga basah, karena kemana-mana semuanya becek, gak ada ojek! Dan yang pasti, sebagiannya musibah. Karena banjir akan menjadi sahabat sehari-hari hingga delapan bulan ke depan. Dalam tidur…dalam duduk… dalam canda…dalam hening…

Tapi bagiku, musim hujan tahun ini menghadirkan kembali sebuah nuansa. Nuansa yang begitu kuat dengan aroma perjuangan, pengorbanan, kegigihan, ledakan energi dan lirih tangis di penghujung malam. Sebuah masa di beberapa tahun silam saat ideologi bertemu dengan masa muda penuh gairah, saat krisis bertemu dengan gelora kepahlawanan, saat ketidakadilan bertemu dengan gejolak perlawanan. Semua menyatu dan kembali hadir dalam potret yang berbeda…

Suasana itu begitu terasa mengalir di sekujur tubuhku, saat dinihari aku beranjak pulang ke rumah. Menyetir mobil sambil bersandar memanjakan tulang belakang yang penat seharian. Sementara gerimis hujan mebasahi semesta seolah tak ingin berhenti memberi arti bagi makhluk bumi seluruhnya. Jalan basah yang tersorot lampu di tengah gerimis begitu akrab menyapa, seolah menggulung waktu dan melipat masa. Membawa ingatanku kembali dalam kancah peperangan ideologi tahun 2002-2003 bersama gerakan mahasiswa Indonesia, melawan kedzaliman dan kesewenang-wenangan penguasa.

Aku terharu… aku terbawa pada seluruh episode pergerakan di masa itu. Pada gejolaknya. Pada heroismenya. Pada ledakan semangatnya. Juga pada lelahnya. Ya, lelah yang hinggap diseluruh tubuh. Merasuk hingga ke tulang-tulang yang memang tak begitu kuat. Lelah yang menyelimuti, seperti kuncup-kuncup mawar yang melindungi sarinya. Lelah yang begitu dalam. Lelah yang memberikan sebuah makna baru tentang hidup. Lelah yang membawa pikiran ku pada sebuah kesyukuran…

Hujan...kau ingatkan aku,
tentang suatu rindu...
di masa yang lalu...
kala engkau masih bersamaku...
Read More ..

Sunday, October 26, 2008

SEPERTI DAUN

Satu-satu…
Daun berguguran,
Jatuh ke bumi,
Dimakan usia,
Tak terdengar tangis,
Tak terdengar tawa,
Redalah…reda…

Satu satu…
Tunas muda bersemi,
Mengisi hidup
Gantikan yang tua
Tak terdengar tangis,
Tak terdengar tawa
Redalah…reda…

Waktu terus, bergulir…
Semuanya, mesti terjadi…
Daun-daun, berguguran
Tunas-tunas muda... bersemi...

(iwan fals)

Ada yang lahir, ada yang mati. Ada yang pergi, ada yang datang. Ada suka, ada duka. Ada bahagia, ada derita. Ada tawa, ada tangis, ada siang, ada malam… mungkin itu yang ingin disampaikan oleh Bang Iwan...

Sahabat, seperti itulah siklus kehidupan. Dan sejarah hanya diukir oleh siklus-siklus itu. Bergulir dan dipergilirkan. Seperti kita, menanti siang, menikmati malam. Berkumpul, juga menyendiri. Dalam garing tawa, juga kelam tangis. Menatap esok, memaknai kemarin. Terus beradu, berganti, hingga terangkai sebuah kisah. Rangkaian kisah menjadi sejarah. Rangkaian sejarah menjadi zaman, menjadi peradaban.

Sahabat, semuanya memang bergilir. Tetapi kumpulan kisahnya dibuat oleh kita. Narasi sejarahnya diciptakan oleh kita. Dan nilai peradabannya ditentukan oleh kita. Maka kisah seperti apa yang akan kita buat untuk anak-anak kita? Sejarah seperti apa yang akan kita ciptakan untuk generasi kita. Dan peradaban seperti apa yang ingin kita cipta untuk manusia seluruhnya?

Sahabat, serpihan-serpihan hari yang kita rangkai akan menjadi sepenggalan kisah yang akan diceritakan kembali oleh anak cucu kita. Sadar atau tidak, hari-hari yang kita lewati itulah yang membentuk kisah kita. Tak perlu kita tuliskan dalam biografi yang tebal, sebab hidup itu sendiri akan merekam keseluruhan kisahnya. Dengan apa adanya…

Sahabat, perilaku masyarakat kitalah yang membentuk sejarah. Sejarah satu generasi dimana kita ada didalamnya dan berkontribusi terhadap pembentukan karakternya. Posisi kita dalam masyarakat hanya ada 2: mewarnai atau diwarnai, menciptakan arus atau terseret arus, menjadi pusaran badai atau sampah beterbangan…

Sahabat, kumpulan sejarah generasi demi generasilah yang membentuk peradaban kita. Simpulan yang jauh melampaui usia kita. Melampaui cita-cita kita. Tetapi menceritakan karya-karya kita. Mengisahkan legenda kita. Mengabadikan ketinggian peradaban kita dalam simpulan kata: masa keemasan

Jadi, sahabat…
Diantara pergantian siang dan malam. Dan dipergilirkannya kejayaan. Serta jatuh bangunnya sebuah peradaban. Bagi kita hanya butuh jawaban dari sebuah pertanyaan: dibagian mana kita berada dan karya apa yang kita bawa?

Bagiku, aku berada dalam pusaran peradabannya bersama karya raksasa, bernama: keadilan!
Read More ..

Saturday, October 25, 2008

SAHABAT, JANGAN JADI KELEDAI

Aneh ya judul postingannya? 
Sahabat, ide tulisan ini muncul saat aku resah dan sedikit rasa bersalah. Bukan pada siapa-siapa, tapi pada sederetan buku-buku yang sudah hampir dua bulan ini tidak aku baca. Bersalah rasanya setiap hari berlalu lalang dihadapan lemari buku yang menampung 500-an judul koleksiku tanpa menyapanya. Aku merasa seperti keledai, yang membawa ratusan buku dipunggungnya tapi tidak mampu memahami isinya…

Aku buka kembali beberapa buku favoritku. The Secret karya Rhonda Byrne, Mindset karya Kang Adi W. Gunawan, juga tak lupa Today is Matter karya John C. Maxwell yang tak pernah kering inspirasi. Wah… rasanya seperti membaca buku baru saja. Ide-idenya kembali segar dalam pikiranku. Perasaanku mulai tenang, tak lagi merasa seperti seekor keledai. I love my library… I love my books…

Sahabat, janganlah jadi keledai. Tak bergunalah ribuan buku yang kita miliki jika tidak memberikan nilai tambah. Janganlah memiliki hobi membeli buku, tapi hobilah membaca buku. Jika tidak, macam keledailah kita ini…(baca dengan logat medan!)

Sahabat, buku adalah jendela dunia. Dari bukulah kita mampu mengeksplorasi setiap jengkal rahasia kehidupan. Menyingkap tabir ilmu penegatahuan. Menemukan jutaan pikiran-pikiran mengagumkan. Bahkan, dari bukulah kita mengenal warna-warni manusia dan legenda sejarahnya…

Sahabat, jangan pernah malas untuk membaca. Apalagi sampai anti membaca. Sebab pikiran yang terbuka oleh cakrawala pengetahuan jauh lebih mampu memahami berbagai hakikat kehidupan dibandingkan mereka yang sempit wawasan. Tentu saja –hanya jika- jika membaca diikuti dengan perenungan. Ya, perenungan dari setiap pikiran yang merangkai ide pengarangnya…

Apalagi saat ini badai krisis sedang mengejar kita. Pelan tapi pasti, badai itu akan kita hadapi. Berbagai hal yang tak pernah kita duga dapat saja menimpa. Karyawan di-PHK, perusahaan bangkrut, lembaga keuangan diliquidasi, BUMN demerger, bahkan usaha kecil pun berpotensi gulung tikar. Segalanya sangat mungkin terjadi. Lalu apakah dampaknya bagi kita? Sesuatu yang tentu saja diluar kendali kita…

Nah, sahabat…
Berkacalah pada krisis yang melanda bangsa kita sebelas tahun yang lalu. Segala hal yang tak pernah terbayangkan menimpa rakyat kita. Banyak karyawan yang di rumahkan. Perusahaan-perusahaan raksasa bangkrut. Investor asing hengkang. Bank-bank dibekukan. Pabrik-pabrik dan industri tutup. BUMN harus dimerger. Semuanya meninggalkan duka bagi ratusan ribu pekerja di Indonesia. Lalu kemanakah mereka yang menjadi korban itu?

Beberapa tahun kemudian, satu demi satu korban krisis itu bermunculan. Meskipun sangat sedikit, tapi mereka yang bangkit kembali itu telah melalui sebauh fase krisis dengan perjuangan yang panjang. Semuanya dimulai dari nol. Dari ketiadaan…

Tetapi satu hal yang menarik dari mereka yang bangkit kembali itu. Bahwa ternyata mereka adalah orang-orang yang sejak awalnya telah tercerahkan. Mereka adalah orang-orang yang penuh wawasan. Krisis yang melanda hanyalah semacam tamparan yang menyadarkan. Untuk mereka bangkit kembali menata ulang kehidupannya, menyusun ulang kesuksesannya, dan menantang kehidupan dengan apa adanya. Sebab mereka semua adalah manusia pembaca. Manusia-manusia pembelajar….

Nah, sahabat…

Kita tidak tahu badai seperti apa yang sedang menanti kita. Karena itu, kekuatan terbesar pada diri kita ini, yaitu pikiran, sudah saatnya untuk selalu dikuatkan. Karanena hanya mereka yang memiliki pikiran-pikiran raksasalah yang dapat melalui berbagai gelombang badai ganas yang menghiasi perjalanan hidup manusia….

So, let’s reading! Let’s become a learner…
Read More ..

Thursday, October 23, 2008

SELALU ADA JALAN

Sangat inspiratif!
Itulah yang muncul dalam pikiranku ketika menyaksikan ilustrasi hidup seorang Wahid Isnandar, pendiri Jamu Dayang Sumbi, di Trans TV pagi ini. Isnanadar cilik adalah anak yang dipilih oleh Eyangnya untuk mewarisi ilmu pengobatan tradisionalnya di daerah Mojokerto. Akan tetapi, Isnandar muda lebih memilih menjadi seorang tentara hingga menikah.

Sahabat, dari sinilah kisah inspiratif itu dimulai…
Ketika anak Isnandar genap 5 orang, dan putri sulungnya telah mencapai umur 17 tahun, cobaan-cobaan berat pun datang menghampiri secara beruntun. Putri sulungnya tiba-tiba lumpuh. Tidak lama berselang anak lelaki tertuanya terserang ashma akut. Belum sempat memberikan pengobatan putri keduanya menderita kanker stadium tiga. Terakhir istrinya menderita komplikasi penyakit yang berat. Sebuah cobaan yang berat. Gajinya sebagai tentara tidak mampu menutupi kebutuhan pengobatan keluarganya. Bahkan untuk makan sehari saja sangat sulit.

Tetapi itulah takdir… Takdir hidup yang sudah digariskan oleh Yang Kuasa. Namun bukan takdir itulah yang harus disesali. Tetapi jalan untuk keluar dari himpitan itu yang harus dicari. Ya…jalan itu harus dicari. Isnandar telah dihadapkan pada sebuah momentum. Momentum untuk mengambil pilihan-pilihan sulit. Apakah harus tetap bertahan sebagai tentara dan membiarkan himpitan-himpitan hidup terus berlanjut seperti biasa. Ataukah Allah dengan kasih-Nya telah memberikan jalan-jalan yang lain?

Ternyata Isnandar memilih jalan lain. Ia memutuskan untuk mengobati sendiri seluruh keluarganya dengan ilmu pengobatan yang diwariskan sang Eyang kepadanya. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Ternyata obat racikan Isnandar sangat manjur. Dalam waktu yang tidak terlalu lama seluruh anggota keluarga Isnandar telah sembuh dari penyakitnya.

Kabar pun tersiar, berita pun tersebar. Isnandar mulai dikenal sebagai peracik jamu yang hebat.
Bergantian orang datang ke rumahnya untuk berobat atau sekedar konsultasi. Jalan lain telah terbuka, dan keputusan pun telah diambil. Isnandar memutuskan untuk berhenti dari ketentaraan dan mendirikan sebuah industri jamu. Berbagai penghargaan nasional dan internasional telah berhasil diraihnya…

Sahabat,
Perhatikanlah bagaimana cara Allah menunjukkan jalan-jalan kesuksesan kepada hamba-Nya. Jalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Terkadang begitu lama, bahkan mungkin sangat lama. Kemunculannya pun tidak mudah. Isnandar telah melaluinya dengan cobaan derita yang teramat mendera. Keluar masuk pegadaian untuk menggadaikan harta benda yang tak seberapa. Air mata pun menjadi teman yang biasa..

Sahabat, sepertinya jalan-jalan kesuksesan itu ada rumusnya, setidaknya menurut saya…

Rumus pertama, jalan kesuksesan terbuka bagi hamba-hamba yang memutuskan untuk merendah di hadapan Allah. Berderai air mata dalam khusyuk munjatnya. Mengharu biru dalam sujud panjangnya. Menyadari kelemahan diri dan meyakini keagungan-Nya …

Rumus yang kedua, optimisme. Keyakinan yang kuat bahwa dalam setiap persitiwa pasti ada hikmahnya. Keyakinan bahwa dalam setiap permulaan pasti ada akhirnya. Keyakinan bahwa dalam setiap ujian pasti ada manfaatnya. Keyakinan bahwa setelah gelap akan datang saat terangnya. Keyakinan bahwa setelah masa sulit akan datang masa lapangnya. Keyakinan bahwa dalam setiap kerumitan pasti ada jalan. Keyakinan bahwa, badai pasti berlalu…

Rumus yang ketiga, pantang menyerah. Sesungguhnya kegigihan itulah yang semakin medekatkan kita pada tujuan akhir sebuah ikhtiar. Tak peduli berapa lama kita akan sampai. Kita hanya perlu meyakini bahwa untuk bisa sampai hanya dengan mengobarkan semangat pantang menyerah. Di saat panas… di saat dingin…disaat terik…disaat hujan…disaat ramai…dan disaat sendiri…

Rumus yang keempat, kesabaran. Ya…karena untuk menuju ke akhir tujuannya, kita membutuhkan nafas yang panjang. Kita membutuhkan energi yang besar. Kita membutuhkan kaki yang kokoh. Sebab disepanjang perjalanannya badai godaan akan selalu menghadang. Ombak kesulitan silih berganti menerjang. Karenanya kita butuh kesabaran. Kesabaran yang raksasa…

Ya… sesederhana itu…
Dan karenanya kesuksesan tak mengharuskan sekolah yang tinggi…
Kesuksesan tak mewajibkan title yang jelimet…
Kesuksesan juga tak memerlukan teori dan rumus yang rumit…
Kesuksesan hanya membutuhkan keimanan yang kuat, optimisme yang kokoh, semangat juang yang pantang menyerah, dan kesabaran yang raksasa…

Bertanyalah kepada Bapak Wahid Isnandar!
Read More ..

Wednesday, October 22, 2008

YA ALLAH, AKU INGIN KAYA!

Kuambil laptopku dan mulai mengetik di ruang tamu yang belum sempat tergenang banjir. Sementara di dapurku beberapa perabot masak dan piring sudah melayang-layang di atas air. Di ruang tengah tempat Televisi berada, air merembes melalui dinding, dan di beberapa titik plafon, air mengucur deras, pertanda atap rumahku sudah bocor. Sementara di luar hujan sangat deras dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dalam cahaya remang-remang oleh penerangan lilin yang menggantikan lampu akibat pemadaman listrik bergilir, aku ingin menuliskan sebuah do’a…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Semoga do’a ini tidak berlebihan. Toh Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berdo’a kepadanya. Dan niscaya akan dikabulkan oleh-Nya. Allah Maha Kaya, Allah Maha Mendengar, dan Allah Maha Pemurah…
Aku pikir apa salahnya… tentu saja bukan karena berdo’anya. Melainkan narasi do’aku yang terlalu terus terang. Bukankah untuk hal-hal buruk seperti menang lotre orang khusyu’ berdo’a? apalagi untuk sebuah obsesi besar ingin menjadi kaya…
Ah…sudahlah. Aku harus yakin dengan do’a ini:

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Aku berharap do’a ini sekaligus menjadi salah satu obsesiku. Kemudian merasuk hingga ke alam bawah sadarku. Membentuk sebuah keyakinan dan berbuah sikap serta habit yang positif. Mendorong seluruh naluriku untuk merealisasikannya. Dalam setiap waktu, setiap tempat dan setiap kesempatan…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Terlalu banyak kebaikan yang terlewatkan dengan menjadi seorang fukaro. Terlalu sedikit peluang berkontribusi dengan menjadi seorang masaakin. Dan yang kutakutkan adalah, jika tiba saatnya kesempitan itu datang pada saat kekuatan iman sedang yankuuz, Na’udzu billah min dzaalik…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Sebab kehormatan seorang lelaki terletak pada kakinya. Ketika ia mampu berdiri, menapak bumi dengan kakinya sendiri. Entah melangkah tertatih, atau hanya dengan gontai terseret, tak soal, yang penting dengan kakinya. Maka menjadi mustadha’afin yang ringkih, dengan kaki yang ditopang disana-sini, memang bukan kehinaan, tapi jauh dari keterhormatan…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Sebab Engkau telah berikan aku hati yang mudah tersentuh, mata yang mudah menangis, ketika menyaksikan pahit getir kehidupan hamba-hamba-Mu. Tentu saja disanalah letak keadilan-Mu,. Tetapi aku ingin merengkuh kemuliaan tangan yang di atas, bukan tang an yang di bawah…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Sebab aku ingin suatu saat, mampu bermunajat kepada-Mu dengan sebuah do’a yang pernah diucapkan oleh Abdurrahman bin Auf sahabat Rasul:” Ya..Allah, janganlah kau letakkan dunia dalam hatiku, tapi letakkanlah ia di bawah telapak kakiku!”…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Sebab aku ingin memasuki surge-Mu, dari berbagai pintu yang Kau janjikan. Dan salah satunya adalah pintu kedermawanan. Seperti Utsman bin Affan sang khalifah yang meninginfakkan hartanya di medan jihad fii sabilillah…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
Sebab Engkau lebih mencintai muslim yang kuat daripada muslim yang lemah. Sesungguhnya salah satu ukuran kekuatan muslim yang kau cintai adalah, kekuatan untuk memberi…

“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
“Ya…Allah, Aku ingin kaya…”
“Amin…”
Read More ..

MISTERI CINTA

Cinta, adalah sebuah misteri yang rumit
takkan terurai oleh segunung kata-kata indah
para pujuangga telah mencobanya,
tetapi belum cukup untuk merangkum semua maknanya…

Cinta, ibarat angin
tak pernah kau lihat, tapi begitu jelas kau rasakan
kelembutan yang mengalir, membelai seluruh jiwa
merasuk dalam setiap ruang yang ada…

Cinta, adalah bius yang kuat
semua jalan untuk meraihnya adalah kenikmatan
maka duri pun terasa seperti belaian
terjalnya medan seperti bentangan taman…

Cinta, adalah pintu gerbang kesadaran
ketika ia hinggap di hatimu, maka semuanya menjadi bermakna
pohon-pohon menjadi puisi, sungai-sungai menjadi irama
langit menjadi rumah, gunung menjadi syairnya…

Cinta, adalah energi
energi yang mampu melahirkan ketenangan
sekaligus energi yang mampu mengobarkan peperangan
seperti kisah Qais dan Layla yang melegenda…

Cinta, adalah misteri besar dalam hidupmu
tak mampu kau katakan, tapi tak kuasa kau tinggalkan
yang kau butuhkan hanyalah,
keyakinan untuk menjaga kelembutannya
sekaligus keberanian untuk menggenggam bara amarahnya…

(Bang Izz, dalam ruang imajinasi tak bertepi)
Read More ..

SELAMAT DATANG PAGI

Pagi adalah kehidupan
untuk mentari menyapa alam
untuk burung berkicau riang
untuk bunga bermekaran
untuk embun berkilauan

Pagi adalah anugerah
untuk ayam mengais tanah
untuk ternak menikmati sabana
untuk daun memasak clorofilnya
untuk manusia mengejar rezkinya

Pagi adalah ketenangan
kicau burung menjad nyanyiannya
semilir angin menjadi belaiannya
sinar mentari menjadi piguranya
kelembutan jiwa menjadi penghuninya

Pagi adalah obsesi
saat perencanaan dimatangkan
saat optimisme dipancangkan
saat lengan baju disingsingkan
dan harapan menemukan bentuknya

Pagi adalah kerinduan
Kerinduan pada alam
Kerinduan pada yang dicinta
Kerinduan pada Tuhan
Kerinduan untuk meraih surga

Aku, merindukan pagi,
Seperti aku merindukan kehidupan…
Read More ..

MEMAKNAI KRISIS

Sahabat, hari-hari ini sepertinya akan menjadi sepenggalan masa-masa sulit untuk kita. Berbagai krisis seolah berlomba meghampiri setiap sisi kehidupan yang ada. Mulai dari krisis financial yang terjadi di Amerika dan berimbas terhadap seluruh dunia, termasuk kita, hingga hanya sekedar krisis air dibeberapa bagian bumi Indonesia, salah satunya disini, di tanah Makassar.

Tapi lebih dari itu, kita rasanya patut mengakui bahwa krisis yang terjadi bukan melulu pada masalah material seperti uang atau pun air. Sepertinya krisis kita jauh lebih luas menjelajah ke dalam sendi-dendi kehidupan: krisis moral, krisis akhlak, krisis sensitivitas, krisis ide, krisis visi…

Ya, kita memang krisis moral dan akhlak. Bergantian pemimpin dan masyarakat kita mempertontonkan fragmen ‘kedurhakaan’ yang tak tahu malu. Ada skandal seks public figur, ada korupsi miliaran rupiah pejabat negara, ada suap aparat hukum , ada mutilasi, ada pemerkosaaan, perampokan disertai pembunuhan, perang antar kampung, tawuran pelajar dan mahasiswa, pesta narkoba para artis, hingga saling lempar dan anarkhi supporter sepak bola…

Ya, kita juga krisis sensitivitas. Disaat sebagian tetangga kita rela meregang nyawa untuk sekadar berebut uang zakat, sebagiannya lagi melakukan parade mobil mewah. Disaat separoh anak-anak kita putus sekolah karena tak mampu menanggung biaya, sebagiannya lagi memadati mall-mall raksasa dan memborong semua program diskon yang ada. Bahkan disaat sebagian saudara kita harus memakan nasi aking untuk mampu bertahan hidup, sebagiannya lagi berlomba-lomba menyelenggarakan pesta-pesta orang kaya. Ketika sebagian rakyat kita menangis menahan rasa sakit sambil menunggu ajal menjemput karena mahalnya biaya pengobatan, disaat yang sama para pejabat negara kita sedang tertawa sambil menghisap dalam-dalam cerutu kuba dalam rapat tentang rakyat miskin…

Ya, kita memang gerah. Kita wajar untuk marah. Tapi pantang bagi kita berputus asa…
Sesungguhnya krisis utama yang seharusnya kita takutkan adalah jika bangsa yang besar ini telah krisis ide, krisis visi. Bangsa ini membutuhkan sebuah narasi besar untuk keluar dari krisinya, sekaligus untuk menentukan arah masa depannya.

Gajah Mada datang dengan narasi nusantaranya. Ide raksasa itulah yang sampai saat mempertahankan Indonesia sebagai bangsa yang besar.

DR. Sutomo datang dengan narasi kebangkitannya. Ide raksasa inilah yang menginsipirasi seluruh perjuangan kebangkitan Indonesia sepanjang sejarah.

Soekarno datang dengan narasi revolusinya. Ide raksasa inilah yang mengantarkan bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya.

Soeharto datang dengan narasi pembangunannya. Ide raksasa inilah yang membawa bangsa Indonesia dihormati dan disegani di dunia Internasional.

Lalu, narasi apakah yang saat ini sedang kita jalani untuk keluar dari lilitan krisis dan menatap masa depan kita?

Saya percaya, bahwa sekelompok kaum muda saat ini sedang bergerak dengan gagah membawa sebuah narasi besar. Saya percaya, bahwa hanya karena mereka masih dianggap terlalu muda sajalah sehingga arus ide raksasa yang mereka bawa belum menemukan momentum ledakannya. Seperti apatisme rakyat Perancis untuk bangkit di bawah bendera Joan of The Arch, hanya karena dia wanita. Dan saya juga percaya, bahwa hanya dengan meleburkan diri di dalam pusarannya dan menjadi bangian dari arus kuat yang akan mendobrak krisis bangsa ini, kontribusi kepahlawanan baru menemukan bentuknya…

Maka, sahabat...
Menghadapi krisis ini yang kita butuhkan adalah sebuah optimisme, sebuah harapan. Bahwa diseberang sana, di rentang waktu yang berbeda, secercah sinar harapan sedang menanti kita. Kita hanya perlu menguatkan hati kita, memperkokoh keyakinan kita, meneguhkan kesabaran kita, bahwa hanya dibutuhkan sebuah keberanian untuk melalui sepenggal hambatan ini dengan gagah. Dan setelah itu kita akan sampai pada kehidupan yang lebih baik, pada era yang lebih stabil, pada masyarakat yang madani.

Sahabat, optimisme dan harapan adalah benteng pertahanan terakhir menghadapi krisis. Jika ini pun telah hilang dalam diri kita, maka tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari sebuah bangsa yang putus asa. Dan sejarah tidak pernah malu untuk menceritakan keruntuhan suatu bangsa, tentang tenggelamnya sebuah peradaban…

Read More ..

Monday, October 20, 2008

KERETA ITU PASTI TIBA

Sahabat...
Pernahkah kita menyadari, bahwa sesungguhnya hidup ini terus melaju bagai kereta.
Sadar atau tidak, mau ataupun enggan, suka ataupun benci, kereta pasti terus melaju,
mendekati tujuan. Stasiun dimana semua kereta akan berakhir di sana. Di kampung kita, kampung semua manusia...

Sahabat,
Pernahkan kita menyadari, bahwa setiap hari yang berulang, adalah hari yang berbeda,
Seperti setiap stasiun yang kita singgahi, adalah stasiun-stasiun yang berbeda…
Sabtu ini, adalah sabtu yang berbeda dengan kemarin, juga sabtu yang berbeda dengan esok,
Meskipun kita menyebutnya sebagai hari yang sama, Sabtu…

Sahabat,
Di gerbong mana pun kita berada dalam kereta hidup ini
Dalam keramaian atau sendiri, dalam kenyamanan atau kerasnya perjuangan,
Kita semua akan sampai di tempat yang sama, di kampung yang tak berbeda,

Hanya saja…
Rumah-rumah kita,
ditentukan pada cara kita memaknai perjalanannya,
pada kesabaran kita menikmati tantangan dan hambatannya
Pada cara kita mengapresiasi kehadiran penumpang lainnya…

Maka, sahabat…
Akhir perjalanan kita,
Bukanlah ditentukan pada pilihan kelas kita di stasiun awalnya
Melainkan pada sebesar apa nilai kemanfaatan kita berada di atas keretanya

Sahabat,
Di atas kereta hidup yang terus melaju ini,
Setiap kita memiliki kesempatan untuk memilih,
Rumah seperti apa yang akan kita tinggali,
Pada hari ketika kereta ini sampai, di stasiun persinggahan yang abadi…

(dalam hening di malam yang asing… bersama sahabat-sahabat sejati…)

Read More ..

Saturday, October 18, 2008

MIMPI ADALAH KUNCI

Sahabat, tidak sedikit orang yang sering merasakan ketidak teraturan dalam hidupnya, tak terkecuali kita. Selalu saja muncul keresahan ketika hari-hari kita berlalu tanpa makna. Kemarin, hari ini dan besok berganti seperti pergantian lembaran-lembaran kertas kosong tanpa torehan sejarah di dalamnya. Kita merasa bete’, bosan, tidak fokus, bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, sering sekali kita terjebak dalam keputus asaan, keresahan juga kehampaan. Tanpa sadar, waktu kita telah terbuang, sementara umur kita semakin pendek, dan hidup kita puan gak karuan. Mengapa demikian?

Ada sebuah kisah menarik yang sangat sering kita baca,

Suatu hari, seorang guru bijaksana berbicara di depan sekelompok murid-muridnya.
Ketika dia berdiri dihadapan muridnya dia berkata:
“Baiklah anak-anakku, sekarang Guru akan menguji kalian”

Kemudian dia mengambil sebuah ember dari kayu seukuran galon, dan diletakkannya di atas meja.
Lalu ia juga mengeluarkan sekitar belasan batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu kedalam ember kayu.
Ketika batu itu memenuhi ember kayu sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya:
“Apakah ember ini sudah penuh?”

Semua muridnya serentak menjawab,
“Sudah Guru!”

Kemudian dia berkata,
” Benarkah?”

Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil.
Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu itu.
Lalu ia bertanya kepada muridnya sekali lagi:
“Apakah ember ini sudah penuh?”

Kali ini murid-muridnya hanya tertegun,
“Mungkin belum!”, salah satu dari siswanya menjawab.
“Bagus!” jawabnya.

Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir.
Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam ember, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan. Sekali lagi dia bertanya,
“Apakah ember ini sudah penuh?”

“Belum!” serentak para murid menjawab
Sekali lagi dia berkata, “Bagus!”

Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam ember, sampai ember itu terisi penuh hingga ke ujung atas.
Lalu sang Guru bijaksana ini memandang kepada para muridnya dan bertanya:
“Apakah maksud dari ilustrasi ini anak-anakku?”

Nah, sahabat. Jika kita adalah murid-murid sang Guru bijaksana, kira-kira pelajaran berharga apakah yang telah diajarkan oleh sang Guru?

Mungkin inilah yang menjadi jawaban kekacauan hidup kita selama ini. Seperti ilustrasi sang Guru bijaksana:

JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA
KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU
TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN
BATU BESAR ITU KE DALAM EMBERT TERSEBUT.

Jika kita tidak memasukkan agenda-agenda besar dalam setiap ruang hidup kita, dalam penggalan-penggalan waktu kita, dalam setiap rentang usia kita, maka ruang dan waktu itu akan diisi oleh hal-hal kecil, oleh persoalan-persoalan sepele…

Maka bertanyalah sobat kepada diri kita, sudahkah kita memiliki misi besar dalam hidup ini? Sudahkah kita mendeklarasikan obsesi raksasa dalam sejarah kita? Sebab jika tidak tidak, maka yakinlah bahwa sepanjang usia kita, setiap lembar sejarah hidup kita, hanya akan dihiasi oleh persoalan kecil, sepele, remeh, yang jumlahnya memang banyak, tapi nilainya jauh dari harapan…

So, sahabat, mari kita mulai merekonstruksi mimpi kita, menata ulang cita-cita kita, dan meletakkan setiap bagiannya dalam serpihan-serpihan usia, hingga ajal emnjemput kita. Sebanyak apa pun bangunan obsesi itu kita raih, maka seperti itulah sejarah yang akan dibaca, dicritakan, di tulis dan diajarkan kembali oleh generasi setelah kita sebagai kisah-kisah keteladanan para pahlawan…

LASKAR PELANGI - Nidji

Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya
Laskar pelangi takkan terikat waktu
Bebaskan mimpimu di angkasa
Warna bintang di jiwa
reff:
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada Yang Kuasa
Cinta kita di dunia selamanya
Cinta kepada hidup
Memberikan senyuman abadi
Walau hidup kadang tak adil
Tapi cinta lengkapi kita
Laskar pelangi takkan terikat waktu
Jangan berhenti mewarnai
Jutaan mimpi di bumi
repeat reff [2x]
Laskar pelangi takkan terikat waktu
Read More ..

Friday, October 17, 2008

JIKA GALAU ITU DATANG

Sahabat, pernahkan Anda merasakan kegalauan?
atau, jangan-jangan saat ini justeru Anda sedang galau?

Galau hati dan fikiran membuat hidup terasa hampa, bumi terasa sempit dan langit terasa sesak...
rasanya... ingin lari jauh dari kenyataan hidup...


Sikap setiap orang dengan galaunya hati bermacam-macam,
ada yang memilih tidur, dan berharap setelah terjaga semua masalahnya sudah selesai... manalah bisa bro... :(

ada pula yang memilih mencari teman biskal (bisikan kalbu), ntah sohibnya... teman kostnya... abangnya... ade'nya...nyokapnya... bokapnya... ngkongnya... ato sekadar menghabiskan waktu sampe pagi di meja chating... (kayak teman2 saya di kick andy room, -dude)

bahkan ada yang merasa tenang setelah mendatangi orang yang ngaku pinter (-baca: paranormal), mangkanya ada yang ketipu hingga 21 M, nah itu mang benner-benner orang pinter, bisa kibulin orang yang sok pinter...

lebih parah... ada yang menjawab galaunya dengan bunuh diri... dan betul, setelah nyawanya melayang, galaunya pun otomatis hilang...

Trus... apakah itu semua adalah solusi?

Ada kisah yang menarik tentang galaunya hati...

Suatu hari ada seorang pemuda yang menanggung beban hidup saaangat berat! saking beratnya, dia selalu berjalan dengan kepala tertunduk. Hatinya galau... pikirannya kusut... sukmanya ingin terbang...

Lalu dia mendengar kabar tentang keberadaan seorang tua bijaksana di tengah hutan dekat tempat tinggalnya, mungkin bisa membantu menyelesaikan masalah hidupnya, pikirnya. Maka dengan penuh harapan, sang pemuda memutuskan mengembara ke dalam hutan dan mencari
si tua bijaksana.

Berhari-hari si pemuda berkelana menelusuri hutan lebat... dan akhirnya pada hari ketiga akhirnya dia bertemu dengan si tua bijaksana...

Dari kejauhan si tua bijaksana sudah bisa menebak permasalahan sang pemuda. Dan ketika si pemuda mendekat, si tua bijaksana menyambutnya dengan mengambil segenggam garam dan meminta tamunya utk mengambil segelas air . Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas dan diaduknya perlahan

“Coba minum ini …dan katakan bagaimana rasanya…” kata si tua bijaksana

“Pahit, pahit sekali” jawab sang pemuda, sambil meludah ke samping

Si tua bijaksana itu sedikit tersenyum. Ia mengajak tamunya itu berjalan ke tepi telaga di dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampinga dan akhirnya sampai ke tepi telaga yang tenang

Si tua bijaksana itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk dan tercipta riak air mengusik ketenangan telag itu.

“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah…”

Saat tamu itu selesai mereguk air itu si tua bijaksana berkata lagi

“Bagaimana rasanya?”

“Segar…” sahut tamunya

“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya si tua bijaksana lagi

“Tidak” jawab anak muda itu

Dengan bijak si tua bijaksana menepuk nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan bersimpuh di samping telaga

“Anak muda, dengarlah.
Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang
Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan sama
Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung pada wadah yang kita miliki
Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya
Itu semua tergantung pada hati kita
Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegaalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan
Lapangkan dadamu menerima semuanya...
Luaskan hatimu utk menampung setiap kepahitan...
Hatimu adalah wadah itu...
Perasaanmu adalah tempat itu,
Kalbumu adalah tempat menampung segalahnya
jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas,
Buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan merubahnya jadi kesegaran dan kebahagiaan"

Lalu si anak muda beranjak pulang. Dia telah belajar banyak hal hari itu. Sebuah hal yang besar yang telah meresahkannya selama ini. Dan si tua bijaksana kembali menyimpan segenggam garam utk anak muda lain yang sering datang. dan membawa kegalauan jiwa

Nah, sahabat...
Jadi sumber dari kegalauan hati bukanlah besarnya gelombang persoalan yang datang,
atau dahsyatnya badai ujian yang menerpa hidup kita...
Tapi akar dari kegalauan adalah sebesar apakah wadah QALBU yang kita gunakan untuk menampungnya...
Seluas apakah cakrawala berpikir kita untuk memandangnya...
Jujurlah pada diri kita, bahwa kegalauan yang terus mendera hati...
Dipicu oleh rasa putus asa yang menyempitkan rongga dada...

So, sahabat...
Mari belajar melapangkan qalbu kita, meluaskan cakrawala berpikir kita, dan membesarkan rongga dada kesabaran kita...
Read More ..

Tuesday, October 14, 2008

SEDERHANALAH

Ini kisah tentang teman angkatanku di kampus. Sahabatku ini namanya Khalak, jurusan teknik perkapalan. Sehari-harinya di kampus Khalak ikut kuliah, tapi selepas kuliah biasanya dia habiskan waktu di sudut-sudut kampus yang kurang ramai atau di kantin untuk bermain gaple. sampai waktu kuliah masuk kembali. Siang dan malam dihabiskan dikampus, bukan untuk penelitian tentu saja, melainkan ngebanyol dengan junior-junior di sekret himpunan atau senat. Seperti itulah siklus hidup sahabatku, Khalak...

Suatu hari aku bertemu Kahalak di kantin, dengan ramah ia menyapaku. Sebagai mahasiswa yang nyambi jadi trainer di sebuah lembaga pengembangan SDM, khalak senang berbicara tentang filosofi-filosofi hidup kepadaku. Karena aku tahu siklus hidup Khalak, hampir semua yang disampaikannya aku anggap angin lalu, maklum, dia seorang banyoler. .. Aku berfikir, betapa kasihannya hidup sahabatku ini. Mungkin orang seperti ini tidak memiliki agenda-agenda besar dalam hidupnya, karenanya pekerjaan-pekerjaan hariannya melulu hal-hal sepele, pikirku.

Lalu, rasa kasihanku mendorongku untuk bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang menohok. "Khalak, apa sih cita-cita kamu fren?" tanyaku dengan ringan. Ekspresi mukanya berubah, dari ekspresi ringan dan riang, menjadi ekspresi keseriusan. Dia berpikir sejenak, seolah-olah pertanyaan itu saaangat sulit. Lalu Khalak tersenyum ke arahku. Menatapku dengan tatapan kesungguhan. "Fren, percayalah bahwa aku juga punya cita-cita...", katanya penuh keseriusan. "Cukup sederhana dan mungkin tak serumit cita-citamu...", lanjutnya. "Aku hanya ingin... minum-minum teh, dan makan-makan kurma...", lanjutnya sambil tersenyum. Lalu khalak terdiam sejenak, dan melanjutkan ucapannya, "...tapi, dengan Rasulullah! ya...dengan Rasulullah, Fren! Percayalah...", ungkapnya dengan mantap, sambil memukul-mukul lembut pundakku. Lalu Khalak berlalu meninggalkanku dengan senyum kepuasan.

Aku terdiam sambil menatapnya pergi. Ada seuntai rasa kagum yang menyelinap dalam hati kecilku. Ada pula segumpal rasa malu yang menampar fikiran sadarku. Ya, aku kagum dengan cita-citanya yang sederhana, tapi sangat obsesif. Cita-cita yang sesungguhnya menjadi kerinduan setiap orang tetapi jarang terekspresikan. Padahal sesuatu yang terekspresikan dalam kata adalah buah dari pikiran dan keyakinan. Mungkin banyak orang yang juga merindukan surga, tapi tak sepotong kata pun tentang surga yang dia ucapkan dalam setiap harinya. Kerinduan yang palsu, itulah hakikatnya...

Aku juga malu, malu pada keadaan diriku yang begitu sempit dan picik memandang kualitas seseorang. Mungkin apa yang aku ketahui tentang Khalak hanya sebatas apa yang tertangkap oleh mata kepalaku. Tapi apa yang dia lakukan diluar itu, siapa yang tahu? Mungkin saja malam-malamnya bertabur zikir... mungkin saja dalam setiap munajatnya berderai air mata raja' kepada Rabbnya... mungkin saja hatinya begitu hilm sehingga tak sekalipun pernah menyakiti sesama makhluk Allah... siapa yang tahu?

Thankyou my friend! Kau memberikan aku sebuah nasehat. Betapa mimpi yang rumit, dan cita-cita yang berbeli-belit tidak menjamin bahwa kesanalah tujuan kita sesungguhnya. Hidup ini sudah begitu rumit, maka hadapilah dengan sikap yang sederhana...
Call me, if someday you read this posting.... (miss u fren!)
Read More ..

BANGKITLAH PEMUDA INDONESIA!

Dalam buku “Mencari Pahlawan Indonesia”, Anis Matta sang penulis, membedakan dua kategori pahlawan berdasarkan ciri zamannya; pertama, pahlawan kebangkitan dan kedua, pahlawan kejayaan. Pahlawan kebangkitan lahir oleh dorongan kecemasan. Kecemasan adalah mata air yang memberikan mereka energi untuk bergerak dan begerak, melangkah tertatih-tatih sembari jatuh dan bangun, meraba dalam ketidakpastian. Namun, mereka bergerak. Oleh karenanya zaman lahirnya para pahlawan kebangkitan adalah zaman penuh kecemasan, keterjajahan dan penderitaan. Sehingga maha karya dari pahlawan kebangkitan adalah perlawanan dan perjuangan menghilangkan sumber kecemasan, seperti penjajahan dan tirani. Dan kerenanya, lahirlah sang legenda Jenderal Sudirman, KH. Agus Salim dan Soekarno-Hatta.

Jika kecemasan adalah energi yang melahirkan gerak pahlawan kebangkitan, maka obsesi untuk maju dan menjadi yang terbaik adalah bahan bakar pahlawan kejayaan. Pahlawan kejayaan lahir pada masa kecemasan telah berkurang dan kehidupan masyarakat relatif stabil. Masyarakat tidak lagi berfikir pada lingkaran kebutuhan pokok hidupnya seperti logistik dan keamanan. Karena itu, ada ketenangan, dan dalam ketenangan itu muncul kecenderungan untuk melahirkan prestasi, kreasi dan inovasi. Oleh karenanya, maha karya para pahlawan kejayaan biasanya paling banyak terjadi pada bidang pemikiran, kebudayaan, seni, olahraga, sains dan teknologi serta pembangunan fisik yang merupakan simbol kemajuan.

Jika kita membedah sejarah peran kaum muda Indonesia dengan dua kategorisasi sederhana di atas, maka sepanjang sejarahnya kita baru menemukan tradisi kepahlawan kaum muda Indonesia dalam masa-masa kebangkitan. Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Perjuangan Kemerdekaan, Gerakan Mahasiswa 1966, hingga Reformasi 1998, adalah momentum-momentum lahirnya pahlawan kebangkitan dari kalangan pemuda di Indonesia. Oleh karenanya ciri gerakan kaum muda saat itu sarat dengan unsur perlawanan, ketidak puasan dan gerakan massa.

Melalui momentum peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda kali ini semestinya kita bertanya, “Pahlawan jenis apakah yang dibutuhkan oleh bangsa kita saat ini?”

Sejak Pilpres tahun 2004 secara umum situasi sosial politik Indonesia relatif telah stabil. Tidak ada lagi situasi mencekam dan kecemasan sebagaimana situasi pada zaman orde baru. Bahkan transisi demokrasi pasca reformasi telah mencerdaskan sebagian besar rakyat Indonesia untuk lebih kritis dan berpartisipasi dalam proses demokratisasi. Karenanya gerakan unjuk rasa dan demonstrasi tidak lagi menjadi monopoli gerakan mahasiswa. Demonstrasi bahkan telah menjadi model penyampaian aspirasi paling populer di semua lapisan masyarakat. Mulai dari anak SD hingga asosiasi pengacara, dari pedagang kaki lima hingga anggota dewan yang terhormat, dari pengangguran hingga para guru dan pendidik. Semua, telah mampu menyampaikan aspirasinya kapan saja dan dimana saja.

Oleh karena itu saatnya kaum muda Indonesia khususnya kalangan mahasiswa mempertanyakan kembali, masihkan gerakan massa dan parlemen jalanan relevan dengan kebutuhan bangsa ini, khususnya dalam era globalisasi dan zaman digital-informasi. Masihkan bangsa ini membuthkan lahirnya pahlawan kebangkitan, ataukah bumi pertiwi justru merindukan lahirnya pahlawan kejayaan.

Menurut penulis, Indonesia hari ini sedang menanti lahirnya pahlawan-pahlawan kejayaan. Masa kebangkitan telah lewat, dan karenanya era pahlawan kebangkitan telah surut. Bumi pertiwi justeru sedang menanti bangkitnya kaum muda yang bisa mengharumkan namanya di pentas dunia. Indonesia justeru sedang membutuhkan munculnya anak bangsa yang mampu mengukir prestasi dalam sejarah peradaban manusia. Sehingga yang dibutuhkan oleh negeri ini adalah kaum muda yang mengerti akan zamannya, dan dengan ketajaman matanya mampu memilih wilayah kontribusi apa yang akan menjadi maha karyanya, untuk bangsa, dan ummat manusia tentunya.

Untuk mempersiapkan embrio-embrio pahlawan kejayaan ini, maka kaum muda Indonesia setidaknya mampu melakukan serangkaian perubahan dalam dirinya, antara lain:

Pertama, Visi masa depan yang utuh. Yaitu sebuah pemahaman yang mendalam terhadap arah perubahan zaman. Sebuah kemampuan untuk meramalkan dunia macam apa yang akan mereka hadapi di masa depan, sehingga mereka tahu dimana akan memposisikan diri di masa yang akan datang. Kemampuan ini tidak lahir dari sebuah ramalan kosong, melainkan hasil dari sebuah kajian yang mendalam terhadap berbagai data dan fakta yang menjadi trend dan pemicu perubahan. Secara teknis, kaum muda Indonesia sudah waktunya untuk membuka mata dan menyaksikan berbagai kemajuan ummat manusia di berbagai belahan dunia. Dengan itu, kaum muda Indonesia akan tersadar betapa kita sebagai bangsa telah jauh tertinggal oleh peradaban bangsa lain.

Kedua, Mentalitas bangsa pemenang. Mengapa Indonesia menjadi eksportir TKI (pembantu) paling produktif? Mengapa Indonesia menjadi negara banyak utang? Mengapa Indonesia selalu kalah dalam diplomasi? Jawabnya: karena bangsa Indonesia bermental pecundang. Bangsa kita adalah bangsa yang tidak percaya diri. Sehingga tidak heran, jika penghujat kekurangan bangsa sendiri jauh lebih banyak dari mereka yang membela dan membanggakan Indonesia. Ini masalah mentalitas. Mentalitas orang-orang kalah! Karena itu sudah saatnya kaum muda kita membangun mentalitas pemenang. Bangun kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Lihatlah dengan kaca mata pemenang betapa bangsa ini adalah bangsa yang sangat kaya. Sebab hanya dengan mentalitas sang pemenanglah Indonesia baru bisa maju, meskipun sedikit, sedikit, tapi kita tetap maju.

Ketiga, Reorientasi gerakan pemuda. Konsekuensi dari perubahan zaman adalah berubahnya tantangan dan problematika. Jika di zaman orde baru dan masa transisi demokrasi, bentuk pembelaan terhadap rakyat oleh gerakan pemuda, khususnya mahasiswa, adalah demonstrasi, maka hari ini peran-peran itu telah dilakoni sendiri oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu sudah saatnya gerakan pemuda melakukan sebuah proses reorientasi gerakan yang lebih pas dengan kebutuhan bangsa Indonesia saat ini. Disinilah kaum muda akhirnya akan melahirkan karya kepahlawannanya. Dan sebuah karya memiliki nilai kepahlawanan, jika karya tersebut merupakan kebutuhan lalu bertemu dengan momentumnya. Maka boleh jadi karya yang dinanti-nati oleh bangsa Indonesia dari kaum muda bukanlah menumbangkan kembali pemegang kekuasaan, tetapi sekelompok ilmuwan penemu obat super, sederet anak muda pencipta robot, para sastrawan referensi dunia, atau sekedar kerinduan akan trofi piala dunia. Mungkin, bangsa ini rindu karya-karya yang men-sejarah, rindu lahirnya pahlawan kejayaan...
Read More ..