Thursday, October 14, 2010

SUARA RAKYAT, WAKIL RAKYAT DAN ANGIN LEWAT

Autokritik Setahun Anggota DPRD Kota Makassar

Melihat judulnya, mungkin pembaca dapat memahami keterkaitan antara 'suara rakyat' dan 'Wakil Rakyat'. Tetapi ada apa dengan 'angin lewat'? Dan apa hubungan 'suara rakyat', 'Wakil Rakyat' dan 'angin lewat'? Setidaknya tiga pasangan kata inilah yang mampu mewakili refkleksi penulis selama tahun pertama menjadi 'Wakil Rakyat' di Kota Makassar. Amanah yang pada dasarnya bukan diberi, tetapi direbut. Jabatan yang diraih dengan 'perjuangan sakral', kata Cak Nun dalam bukunya 'Demokrasi La Roiba Fih' .


Disebut sakral sebab mereka (para caleg) harus menempuh salah satu dimensi 'sufisme', yakni 'rela kehilangan dunia', bukan saja mengeruk habis uang yang mereka punyai, menjual rumah, tanah, dan perhiasan, tetapi bahkan rela berutang untuk memberikan yang terbaik kepada rakyatnya, uang, karpet pengajian, pesawat televisi, tiang listrik, pengaspalan jalan, jembatan, rebana dan sebagainya. Tentu saja bukan bermaksud untuk pamrih, tetapi sebagai wujud kecintaan mereka yang tulus pada rakyatnya. Demikian menurut Emha Ainun Nadjib.

Suara Rakyat

Vox Populi Vox Dei (Suara rakyat suara tuhan). Itulah adagium yang sangat popular untuk menggambarkan betapa sakralnya suara rakyat, meskipun tidak sepenuhnya demikian. Bagi penulis, suara rakyat ada dua, pertama suara dalam bentuk hak untuk memilih wakilnya secara bebas tanpa paksaan (dan godaan). Suara ini hanya tersampaikan sekali dalam lima tahun. Meskipun lima tahunan, tetapi suara ini memiliki peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu suara ini sangat berharga. Saking berharganya suara jenis ini dapat diperjual-belikan oleh rakyat secara bebas dalam setiap momentum Pemilu.

Kedua, suara kebutuhan atau istilah kerennya 'aspirasi'. Suara yang merupakan panggilan hak dasar rakyat atas penyelenggara negara untuk terwujudnya keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan. Ada yang tersampaikan dengan lantang, ada pula yang tersedak di kerongkongan. Ada yang tersampaikan dengan nyanyian, adapula yang terungkapkan dengan diam. Ia tersampaikan melalui berbagai sarana: media massa, unjuk rasa, internet, jejaring sosial, dsb. Disinilah peran Wakil Rakyat dibutuhkan sebagai penyambung suara rakyat. Istilah Bung Karno, 'Penyambung lidah rakyat'.

Wakil Rakyat

Sebagai 'Penyambung lidah rakyat', para Wakil Rakyat tentu saja adalah orang-orang yang 'empatik', 'tulus' dan 'memiliki kepekaan nurani'. Mereka mampu menyerap dan menangkap suara rakyat, baik yang tersampaikan secara terbuka mau pun jeritan-jeritan yang tersembunyi. Oleh karena itu para Wakil Rakyat pasti memiliki 'receiver' aspirasi yang banyak. Selain yang sudah diatur di dalam undang-undang seperti reses dan penerimaan aspirasi, mereka juga pasti membuka akses diri yang seluas-luasnya, melalui telepon seluler, email, website, facebook, twitter, atau bahkan rumah aspirasi. Orang-orang yang patut dibanggakan atas berbagai 'pengorbanan' dan 'keikhlasannya'.

Catatan kritis

Penulis telah mendengarkan ratusan suara rakyat dalam setahun. Ada yang tersampaikan dengan santun tetapi kritis, ada pula yang tersampaikan dengan penghinaan dan caci maki, dan tak jarang yang tersampaikan dengan isak tangis. Temanya bermacam-macam. Pencemaran lingkungan di Tallo oleh industri baja, limbah indsutri gula di Tamalanrea, penyerobotan fasum dan fasos di Manggala, perda Tata Bangunan yang banyak dilanggar 'pengusaha besar', alih fungsi lahan di Karebosi, penggusuran pedagang kecil oleh pemodal besar di pasar Pa’baeng-baeng, ruislag SD di Tamalanrea dan Tamalate, kemacetan disepanjang jalan Perintis Kemerdekaan, dan sebagainya, dan sebagainya.

Dengan segenap wewenang dan keterbatasan para Wakil Rakyat , Alhamdulillah sebagian aspirasi itu telah 'ditindaklanjuti'. Dan sangat beruntung bagi penulis sebab berada ditengah-tengah Wakil Rakyat yang 'peduli' dan 'responsif'. Rekomendasi demi rekomendasi telah dikeluarkan. Teguran dan kritik untuk pemerintah senantiasa disuarakan. Mereka berani 'melawan' pelanggaran dan ketidakadilan di Kota ini.

Angin lewat

Tetapi, suara Wakil Rakyat itu bagai 'angin lewat'. Seperti (maaf) 'kentut' yang baunya menghebohkan tetapi tak mengubah apa-apa. Wakil Rakyat dikritik. Wakil Rakyat dicurigai. Tetapi mereka tidak marah, sebab mereka memahami 'ketidaktahuan' rakyat atas 'perjuangan' mereka yang begitu 'gigih'. Toh mereka memang sejak awalnya adalah para 'pejuang yang ikhlas'. Rekomendasi telah ditandatangani. Kritik telah dilayangkan. Tugas konstitusional telah dilaksanakan. Semuanya kembali pada Pemerintah yang 'bebal' terhadap suara kritis wakil rakyat itu.

Seolah pemerintah tidak memahami dengan baik kewenangan besar wakil rakyat yang diamanatkan oleh undang-undang. Bahkan pemerintah seolah tidak tahu bahwa wakil rakyat itu adalah 'penyambung lidah rakyat' yang suaranya sakral dan suci. Seolah-olah pemerintah tidak menghargai dedikasi rakyat yang mengikuti semua proses Pemilu dengan sabar. Proses Pemilu yang paling rumit di dunia.

Meskipun sebagian rakyat kembali berteriak, “bukankah Wakil Rakyat masih punya hak politik atas kebebalan pemerintah itu?”. Betul. Masih ada Hak Interpelasi dan Hak Angket. Hak wakil rakyat yang diamanatkan oleh undang-undang. Tetapi dalam praktiknya, bahkan DPR RI pun yang begitu 'garang' tak pernah menuntaskan 'Hak Sakral' tersebut. Sebab selain 'penyambung lidah rakyat', wakil rakyat juga adalah 'penyambung lidah partai' yang harus berpikir secara politik. Dan tentu saja, sebagian muatan politik itu adalah 'kepentingan'.

Sekadar autokritik

Tulisan ini bukan untuk menyinggung siapa-siapa. Bukan pula untuk diperdebatkan oleh siapa-siapa. Hanya sekedar evaluasi dan autokritik untuk penulis sendiri yang telah diberikan amanat oleh rakyat. Mereka yang telah menitipkan harapan begitu besar, dari yang berteriak hingga mereka yang memilih diam, atau pun yang dibungkam. Setahun itu bukan waktu yang singkat untuk tidak mempertanggungjawabkan apa-apa. Jika ada yang merasa tersinggung penulis memohon maaf.

Read More ..

Thursday, May 27, 2010

MOMENTUM LEDAKAN

Melihat judulnya, jangan sampai salah persepsi. Ini bukan tentang ilmu fisika quantum, apalagi tentang bahan peledak. Sebab saya tidak ahli dalam dua bidang tersebut. Tapi tulisan ini tentang motivasi yang lahir dari perenungan-perenungan panjang tentang bagaimana orang-orang hebat dan orang-orang sukses memulai langkah demi langkah kebesaran dan kesuksesannya. Meskipun saya sendiri, bukan orang sukses, apalagi orang hebat… sungguh jauh… jauh… jauh…


Sahabat
,

Bacalah kembali sejarah mereka. Pelajari biografi mereka. Resapi nasehat-nasehat mereka. Maka engkau mungkin akan bersepakat denganku tentang dari mana mereka memulai. Pada awalnya mereka sama dengan kita, orang-orang biasa dengan beragam profesi dan keyakinan. Mereka memiliki kebutuhan hidup yang sama dengan kita. Mereka juga memiliki mimpi yang tak jauh beda dengan kita. Secara umum, dari tampak luar mereka biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa…


Hingga suatu ketika, momentum besar itu datang. Mereka harus menghadapi kenyataan hidup yang tak pernah dibanyangkan sebelumnya. Badai kesulitan datang memporak-porandakan kehidupan mereka. Gelombang ujian silih berganti menghantam bangunan mimpi mereka. Kehidupan merenggut semua yang dicintainya, hingga mereka mendapati dirinya telah berada di tepian jurang kehidupan. Saat hidup hanya menyisakan dua pilihan untuknya: to be or not to be!

Seperti itulah mungkin pilihan Soichiro Honda ketika di PHK oleh TOYOTA, atau ketika usahanya bangkrut pada Perang Dunia, atau ketika Gempa menghancurkan pabrik otomotifnya hingga rata dengan tanah. Seperti itulah mungkin tekanan dalam diri FD Roosevelt ketika mendapati dirinya lumpuh menjelang puncak karir politiknya atau ketika mendapati dirinya terpilih sebagai presiden sebuah bangsa yang collapse dan kehilangan harapan. Seperti itu pula mungkin perasaan Antony Robbins ketika harus putus sekolah karena kemiskinan orang tuanya, atau ketika ia memilih menjadi tukang cuci piring di sebuah rumah makan untuk biaya hidupnya. Dan mungkin, seperti itu jugalah suasana hati dan pikiran Tukul Arwana ketika harus berganti profesi rendahan berkali-kali sebelum sampai di puncak karirnya.

Sahabat,

Setelah berbagai kesulitan-kesulitan itulah bermula berbagai kisah kebangkitan mereka. Penderitaan dan rasa sakit telah menempa mereka menjadi manusia tangguh. Hidup telah memaksa mereka untuk memilih, dan mereka itu adalah orang-orang yang memilihi untuk tetap tegak berdiri menantang badai. Mereka, telah membuang jauh-jauh rasa takut yang hadir bersama tekanan-tekanan kehidupan itu dan memilih bersahabat dengan resiko. Mereka menyadari, pilihan mereka tidaklah banyak. Maka, bertarung melalui badai ujian dan meraih kesuksean adalah satu-satunya pilihan terhormat untuk mereka. Dan, mereka berhasil…

Sahabat,

Itulah momentum ledakan. Momentum ketika potensi-potensi luar biasa dalam diri mereka yang selama ini tersembunyi oleh kenyamanan, tiba-tiba meledak dalam satu waktu dan melahirkan kerja-kerja luar biasa yang membuatnya dikenang sebagai orang hebat. Tekanan-tekanan hidup itulah yang membuka tabir potensi mereka, menunjukkan kualitas emas mereka, memaksa mereka melakukan pekerjaan-pekerja extraordinary yang mengundang decak kagum. Tapi dibalik itu semua, jauh di kedalaman lubuk hati mereka, bukan decak kagum itulah yang mereka tunggu. Bukan segudang pujian itulah yang ingin mereka raih, apalagi hanya sekedar numpang buku biografi.

Sesungguhnya, mereka hanya sedang bekerja merealisasikan janji mereka pada diri mereka sendiri, bahwa mereka akan bangkit dari keterpurukan dengan hasil apapun. Bahwa mereka harus keluar dari badai itu dengan kondisi apa pun. Mereka hanya sedang membela air mata mereka agar itu tidak jatuh dengan sia-sia. Mereka hanya sedang mendirikian prasasti kenangan untuk berbagai kehilangan sesuatu yang mereka cintai dengan begitu dalam. Dan bahkan sebagian besarnya tidak menyadari bahwa mereka tengah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang tidak mampu dilakukan oleh orang lain pada umumnya.

Bahkan dalam skala yang lebih besar, momentum ledakan inilah yang menjadi titik awal kebangkitan bangsa-bangsa terhebat dalam sejarah. Bom Atom yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki adalah momentum yang membentuk jepang menjadi bangsa Raksasa. Jangan hanya terjebak pada persitiwanya sobat, tapi lihatlah berapa banyak darah dan air mata yang mengalir di dalamnya. Bayangkanlah sakit yang mereka rasakan akibat kehilangan ribuan sanak keluarga dan harta benda. Bayangkanlah penderitaan yang mereka tanggung bertahun-tahun setelah persitiwa itu. Maka engkau akan menemukan kegetiran yang luar biasa sobat. Lihatlah Amerika, bukankah Great Depression telah membuat mereka menjadi adikuasa dunia? Lihatlah China, bukankah kegetiran di masa Mao telah membentuk mereka menjadi raksasa ekonomi dunia. Dan lihatlah sejarah bangsa kita, bukankan pendihnya penderitaan selama 350 tahun mendorong para pendahulu kita untuk bangkit dengan slogan: Merdeka atau Mati!!!

Sahabat,

Oleh karena itu, jangan pernah mengeluh pada kehidupan. Sebab hidup memeliki caranya sendiri untuk memberikan tempat terhormat bagi setiap manusia yang melaluinya. Jangan pernah meratapi kegetiran, sebab disaat-saat seperti itulah kehidupan sedang bekerja untuk membersihkan jiwa kita dari karat-karat yang menghambat kesuksesan. Maka sambutlah setiap tantangan dan ujian itu dengan gelora keberanian, seperti kata Shakespeare dalam Hamlet, To Be or Not To Be!

Read More ..

Wednesday, May 05, 2010

PARADIGMA KEUANGAN

Lelaki muda itu terduduk lama di kursi kerjanya. Sendiri, dalam dingin AC yang menyelimuti ruang kerja pribadinya itu. Kedua tangannya memegangi kepala yang tertunduk denagan jari-jari menjambak rambut, seperti hendak menyingkirkan beban di atas kepala yang begitu berat. Matanya yang sayu menatap kosong ke atas meja kerja yang sedikit berantakan oleh kertas kerja dan beberapa buah buku. Sambil menghela nafas panjang, sesekali ia tampak menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya, sungguh berat permasalahan yang dihadapinya…

Beberapa waktu sebelumnya, ia menerima telepon dari Bapaknya di kampung yang meminta dikirimi sejumlah uang untuk keperluan tertentu, soalnya sang Bapak sedang istirahat dari pekerjaannya sebagai pedagang ikan harian akibat sakit maag akut yang di deritanya sejak beberapa tahun yang lalu. Tak lama berselang adiknya yang masih kuliah juga menelpon minta bantuan sejumlah dana untuk keperluan kuliahnya. Beberapa hari sebelumnya dia juga harus membantu biaya operasi adik sepupunya yang mengalami penggumpalan darah di saluran otak akibat terjatuh dari lantai dua masjid menjelang shalat jum’at. Belum lagi hampir setiap hari istrinya mengingatkan untuk melunasi sejumlah utang pada beberapa sanak keluarga yang dulu pernah memberikan piutang dimasa krisis financial. Apalagi di awal-awal bulan seperti sekarang ini, lembar-lembar tagihan melalui jasa pos hampir setiap hari menyambangi rumahnya. Sungguh, tekanan yang luar biasa….

Pernah suatu waktu, dia berdiskusi dengan rekan kerjanya. Dia mengeluhkan besarnya biaya hidup yang tidak sebanding dengan besarnya penghasilan. Ternyata kondisinya tak jauh berbeda dengan rekan kerjanya itu. Sampai rekannya itu berandai-andai, “bisa tidak ya, kita membeli sesuatu tanpa harus menjual sesuatu juga?”. “Hahahahahah….”, tawa meledak diantara keduanya. Menertawai nasib mereka yang kelihatan lucu. Lucu, sebab penghasilan mereka sesungguhnya tergolong besar jika dibandingkan dengan standar UMR yang ada, tapi juga lucu karena mereka tak pernah surplus dengan penghasilan sebesar itu. Sampai-sampai rekannya itu untuk membeli sebuah laptop harus dibayar dengan menjual motor andalannya. Bahkan, si lelaki muda ini turut berandai-andai, “kapan ya, uang itu tidak jadi masalah dalam kehidupan?”. Sepertinya, disinilah letak masalah lelaki muda ini…

Sahabat,

Cerita ini bukan kisah fiktif karanganku. Cerita ini sungguh nyata kejadiannya. Bahkan kejadian seperti ini banyak terjadi di berbagai tempat. Atau mungkin juga sedang terjadi pada diri kita. Ini adalah permasalahan klasik manusia. Dimana kebutuhan selalu mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu, sementara penghasilan cenderung tetap. Guru saya Anis Matta pernah berkata, “bukan kebutuhan hidup kita yang besar, tetapi penghasilan kita yang terlalu kecil”. Betul sekali, sebab kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda, tergantung gaya hidupnya. Itu berarti, orang yang biaya gaya hidupnya lebih besar ketimbang penghasilannya, maka sesungguhnya tetap saja ia dikategorikan berpenghasilan kecil, sebesar apa pun penghasialannya. Begitu pun sebaliknya. Oleh karena itulah Anis Matta juga mengingatkan, “jangan pernah memilih gaya hidup yang lebih besar dari penghasilanmu, sebab gaya hidup itu tak kenal kata turun, sementara penghasilan sangat susah untuk naik”.
Sahabat,

Mungkin karena itulah guru saya itu memberikan nasehat, “jangan sibuk memikirkan besarnya kebutuhan, tapi fokuslah untuk berpikir bagaimana menaikkan besar penghasilan!”, and I think… that’s right bro! Hmm… mirip-mirip pesannya Khalid bin Walid Ra kepada pasukan Islam dalam setiap pertempuran, “janganlah sibuk menghitung-hitung berapa besarnya jumlah musuh, tapi sibuklah menghitung berapa kepala musuh yang telah kau penggal dalam peperangan ini!”. Wah... luar biasa!!!

Maka dari itu sobat, mari membangun paradigma baru ini dalam kehidupan kita. Sebab kebutuhan hidup kita setiap harinya akan terus mengalir dalam daftar panjang yang harus dipenuhi. Sekarang mungkin belum terasa, sebab Anda belum berkeluarga, atau mungkin karena anak-anak masih sedikit dan belum sekolah. Tapi nanti, segalanya pasti berubah. Suatu saat daftar kebutuhan dan keinginan akan mengepung pikiran kita, membuat jiwa kita terkoyak-koyak oleh karena kelemahan dan ketidak mampuan kita untuk memenuhinya. Seperti lelaki muda tadi, yang tertunduk lesu dalam kesendirian yang menyiksanya. Berharap istri dan anaknya senantiasa tersenyum bahagia dalam setiap hari-harinya, ternyata harus menangis sedih atas ketidak mampuan pemimpin rumah tangganya…

Sahabat,

Rezki memang di tangan Allah, tapi ia harus dijemput dengan kerja keras dan do’a. Bahkan makanan yang sudah ada di depan mata pun, masih membutuhkan ikhtiar kita untuk menyuapnya agar masuk ke dalam mulut dan memakannya. Apalagi seuatu yang masih rahasia dan bersembunyi dibalik kemurahan dan kasih sayang Allah. Tentulah membutuhkan ikhtiar dan do’a yang lebih dahsyat lagi untuk meraihnya. Dan sungguh Allah SWT, memberikan harga yang luar biasa bagi mereka yang bermandikan keringat karena bekerja. Dan sungguh Allah SWT, mengabulkan do’a orang-orang yang meminta kepada-Nya setelah bekerja. Maka, bekerja dan berdo’alah sobat….

Read More ..

Tuesday, May 04, 2010

BEKERJA ITU MULIA

Hampir setiap hari aku melihatnya dengan sketsa yang sama. Pulang dari tempat kerjanya pukul sebelas malam, bersama istri, juga putrinya kecilnya yang terkantuk-kantuk kelelahan. Setelah membereskan semua perabot-perabot warung, cuci piring dan menghitung-hitung uang penghasilan hari itu. Dari peluh mereka terlihat betapa lelah raganya. Tetapi dari sorot matanya yang menyala terlihat gambaran jiwa mereka. Penat hari itu, ternyata tak mampu merampas mimpi mereka untuk tetap hidup dan memberi makna kehidupan esok harinya. Dengan cuaca apa pun, menjelang tengah malam setiap hari, kuda besinya dipacu meninggalkan warung kopi tempatnya bekerja menuju istana sederhana yang mereka tinggalkan setiap paginya…

Sahabat,

Menatap sketsa itu dalam rentang waktu yang lama dan berulang-ulang sungguh mengusik pikiranku. Ada yang begitu menakjuban dalam bagian-bagian sketsa itu yang membuaatku iri, yaitu kesungguhan dan tekad. Ya, kesungguhan dan tekad telah mendorong seluruh gerak raga dan pikirannya untuk bekerja keras bermandi peluh setiap hari tanpa harus mengeluh. Dan di penghujung aktivitasnya setiap hari, selalu saja senyum kesyukuran itu yang menghias wajah meraka… ah, betapa indah sketsa ini, di tengah sketsa kehidupan manusia yang begitu ironi…

Sahabat,

Keringat yang keluar dari kerja keras adalah berkah. Baginda Rasul berkata, “tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud as. , makan dari hasil kerjanya sendiri”. Subhanallah… pesan baginda Nabi ini adalah tamparan untuk kita yang lebih senang bersantai-santai dan menunggu pemberian orang. Bahkan sebagian orang lebih memilih menjadi pengangguran dari pada bekerja pada pekerjaan yang mem butuhkan kekuatan fisik atau berstatus sosial rendah. Seolah-olah kemuliaan itu diperoleh dari halusnya tangan karena tidak bekerja atau lembutnya kulit karena malas berusaha.

Sahabat,

Baginda Nabi pernah berkata, "Sungguh sekiranya salah seorang di antara kamu sekalian mencari kayu bakar dan dipikulnya ikatan kayu itu, maka yang demikian itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberi ataupun tidak memberinya."[HR. Bukhari dan Muslim].

Na’udzu billah… Betapa jauhnya kemuliaan bagi para pemalas dan mereka yang meratapi nasib dengan meminta-minta.

Sahabat,

Bekerjalah, meski tangan mu harus berdarah dan kaki mu terluka dan jangan meminta-minta. Inilah kehormatan dan harga diri kita, Sobat. Jangan kau buang waktu mu untuk aktivitas yang tidak produktif dan sia-sia. Pergunakanlah masa mudamu untuk menyusun bangunan ekonomi keluarga, hingga kelak kita bisa hadir di tengah-tengah manusia dengan kepala tegak dan tangan di atas mereka. Sebab Allah mencintai hambanya yang giat bekerja.

Read More ..

Tuesday, January 26, 2010

LAKON KITA, CINTA...


Cinta,
entah berapa banyak lagi air mata itu harus tumpah,
entah seberapa deras lagi haru birumu itu mengalir,
pada langgam kisah kita yang warna warni bak pelangi,
pada deburan rasa dan gemuruhnya yang menghantam tebing-tebing hati,
pada lakon kita yang sering ambigu itu, Cinta...

Cinta,
jangan kau halangi air mata itu tumpah,
mencari jalan-jalan kedamaiannya di atas bumi,
sebab pundak ini pun tak sanggup memikul beban asa yang menggulung dalam setiap tetesannya,
meski tangan yang rapuh ini selalu ada untuk menyeka jejak kecewanya...

Cinta,
inilah jalan kita,
terjal dan berliku adanya,
jauh dan mendaki jaraknya,
kerikil tajam dan tebing curam piguranya,
bahkan menatapnya saja terkadang melahirkan putus asa,
tapi itulah pilihan jalan kita, Cinta...

Cinta,
hidup ini indah,
kau hanya perlu membuka mata 'tuk melihat rahasianya,
agar kaki-kaki yang rapuh itu tak lagi ragu melangkah,
agar hati yang mudah terluka itu senantiasa terjaga,
agar air mata itu mengalir ke telaga bahagia, bukan tangis putus asa...

Cinta,
inilah jalan kita...

(dalam perenungan panjang tanpa arah) 6 Agustus 2009 at my FB


Read More ..

Monday, January 25, 2010

KETENANGAN HIDUP

Suatu ketika teman kantor saya bertanya, “Wan, kenapa kamu selalu kelihatan tenang?”. Saya menjawabnya hanya dengan melempar senyum. Tersenyum oleh pujian teman saya itu. Momentumnya kemudian berlalu. Tetapi pertanyaan kawan saya itu terus menggelayut dipikiran selama berhari-hari. Sepertinya ada yang tidak tuntas pada cara saya menyikapi pertanyaan itu. Mungkin hanya sebuah pertanyaan basa-basi, atau sekadar cara seorang sahabat memuji. Tapi sesungguhnya pertanyaan itu telah mendekonstruksi pemahaman dan keyakinan saya tentang ketenangan hidup.

Sahabat,

Ketenangan hidup itu adalah impian dan harapan setiap orang. Kesanalah muara semua perjuangan hidup manusia di muka bumi ini. Sebuah keadaan yang damai dan jauh dari ketegangan-ketegangan. Ratusan bahkan ribuan buku ditulis untuk menuntun manusia mendapatkannya. Bahkan sebagian manusia rela mengorbankan apa saja untuknya. Ada yang harus menanggalkan jabatannya, atau meninggalkan keluarganya, demi sebuah ketenangan hidup. Ada juga orang yang rela melakukan perjalanan jauh melintasi benua hanya untuk menemukan ketenangan hidup. Juga ada yang memilih mengisolasi diri dari bisingnya interaksi manusia hanya untuk merasakan nikmatnya ketenangan hidup. Sebab disanalah dahaga jiwa menemukan mata air kebahagiaannya.

Tapi sahabat,

Mungkin ada yang perlu kita maknai ulang dari ketenangan hidup itu. Sebab ketenangan itu bisa jadi jebakan. Jebakan untuk memaksa jiwa berhenti mengalir. Jebakan yang dapat membuat pikiran berhenti mengembara. Seperti air di dalam nampan, tenang, dan berhenti menciptakan jeram. Lalu akhirnya membusuk oleh sampah-sampah kehidupan. Seperti itulah, ketenangan dapat menjadi akhir dari perjuangan. Mematikan obsesi untuk bergerak dan berubah. Mengekang jiwa agar berhenti bercita-cita. Membiarkan segalanya terjadi begitu saja disekitar kita. Seperti para sufi yang bibirnya terus basah oleh lantunan dzikir sementara darah ummatnya terus mengalir oleh tebasan pedang para durjana. Mereka hidup tenang di alam jiwa, sementara kerusakan di muka bumi telah sedemikian parah…

Sahabat,

Inilah yang ku takutkan. Inilah yang kutakutkan dari ketenangan yang dipertanyakan oleh kawanku tadi. Jangan-jangan diri ini memang sudah sedemikian tenang, sehingga mata tak dapat lagi melihat ketidak adilan yang terjadi. Jangan-jangan, telinga ini pun telah tuli dari teriakan dan isak tangis mereka yang terdzalimi. Jangan-jangan, jiwa ini sungguh tak gelisah lagi pada berbagai kerusakan di muka bumi. Jangan-jangan, kaki ini pun telah lelah berlari dan memilih berhenti. Disini, dalam damainya ketenangan…

Ada yang menangis disini, kawan! Di dada ini! Ketika kenyamanan telah meninabobokkan jiwa pejuang dalam diri kita. Ketika hujan fasilitas telah memadamkan bara amarah idealisme kita. Ketika badai fitnah menghentikan gelora obsesi kita. Sebab tiba-tiba semuanya menjadi tenang, senyap dan sunyi. Menenggelamkan suara-suara serak yang ingin berteriak. Dan menurunkan telunjuk yang ingin terus mengacung menantang raja bajingan di tengah bangsa kita ini. Lalu meluncurlah berjuta justifikasi dari pikiran yang tak lagi jernih, agar diri ini seolah-olah tetap tampak suci.

Sahabat,

Berhati-hatilah dengan ketenangan hidup. Kesanalah jiwa ini ingin berlabuh. Tetapi bukan untuk mengentikan geloranya. Kesanalah hati ini ingin singgah. Tetapi bukan untuk membunuh obsesi-obsesinya. Ketenangan hidup itu adalah suluh yang membantu kita menemukan jalan ditengah kegelapan. Seperti mercusuar yang menuntun kita ditengah badai kehidupan. Agar kita tidak terjatuh oleh banyaknya tantangan hidup yang datang silih berganti. Atau pun jebakan-jebakan yang terbentang disepanjang jalan. Maka bangkitlah sobat. Kobarkan amarah idealisme dan gelora perjuangan. Katakan tidak untuk setiap kedzaliman dan ketidakadilan. Sebab disini, kau hanya berada diantara dua pilihan, hidup mulia atau mati sebagai syuhada!

Read More ..

Tuesday, January 05, 2010

GODAAN KESUKSESAN

Siklus sejarah peradaban setiap bangsa senantiasa berganti, antara masa kebangkitan dan masa-masa kejayaan. Masa kebangkitan diawali dengan krisis, penderitaan, keterjajahan, dan ketakberdayaan. Oleh karena itulah masa-masa ini diwarnai dengan semangat kebangkitan, gelora perlawanan, kelahiran para pemberani dan parade para pahlawan sejati. Di masa inilah, darah, keringat dan air mata bercampur menjadi satu membentuk mozaik indah yang menghiasi hari-hari kebangkitan bangsa itu.

Sementara di masa kejayaan, semuanya berawal dari kebebasan, tingginya kesejahteraan dan tegaknya keadilan. Semuanya damai dan berkecukupan. Di masa-masa seperti inilah ibu pertiwi sebuah bangsa terlalu malas melahirkan para pahlawan. Manusia luar biasa menjadi langka, sebab semua orang telah cukup menjadi manusia biasa-biasa saja. Dan di titik ini, sejarah telah mencatat awal mula kejatuhan dan keruntuhan berbagai peradaban yang pernah jaya. Justru di titik, ketika yang dibutuhkan adalah maha karya…


Sahabat, seperti itu juga kehidupan setiap diri kita. Ada masa perjuangan dan juga masa-masa kesuksesan. Masa perjuangan diawali dengan kekurangan, kemiskinan, ketiadaan, penderitaan, perih dan juga tangis. Oleh karena itu di masa-masa seperti ini jiwa kita dipenuhi oleh semangat kedisiplinan, kerja keras, pengorbanan, obsesif, pantang menyerah, bahkan sedikit mati rasa. 24 jam sehari semalam rasanya terlalu sedikit untuk menampung besarnya energi jiwa yang meledak setiap harinya. Dan di setiap penghujung hari-hari itu, ada air mata yang senantiasa mengalir sebagai penawar dahaga jiwa. Ada pundak yang selalu setia menjadi sandaran kepala yang tertunduk letih. Ada senyum yang menampung segudang keluh kesah yang warna-warni. Juga ada sebait do’a untuk keberkahan di hari esoknya…

Sementara masa kesuksesan, adalah musim panen dari benih-benih ikhtiar yang telah ditanam. Di masa ini rasanya setiap “kebutuhan” telah terpenuhi, meskipun daftar panjang “keinginan” tak pernah ada habisnya. Tak ada kesedihan, juga tangis getir penderitaan. Oleh karena itu pekerjaan sebagian besar orang dimasa-masa kesuksesan adalah manajemen keinginan. Menata sedemikian banyak keinginan yang mendesak di alam pikiran. Tapi, disinilah letak godaannya sobat. Sebab sebagian besar keinginan yang mendesak itu justru kesenangan-kesenangan yang segera dan jangka pendek. Semuanya tentang pemenuhan hasrat akan kelas sosial, pujian, mode, gaya hidup, kenyamanan, kemudahan, dan kebanggaan-kebanggaan material. Di titik ini, idealisme dan kreatifitas pun mati suri.

Pantaslah Baginda Rasul pernah memberi nasehat:

“Maka demi Allah ! Bukanlah kemiskinan yang aku takutkan atas kalian tapi yang kutakutkan adalah akan dibentangkannya dunia, seperti dibentangkannya atas orang-orang sebelum kalian, maka kalian akan berlomba-lomba padanya (dunia) seperti halnya mereka, dan dunia itupun akan mengahancurkan kalian, seperti yang telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian.” (Bukhari & Muslim).

Sahabat, setidaknya nasihat ini mengandung 2 pesan buat kita semua. Pertama, bagi kita yang sedang berada di masa-masa perjuangan, maka bersabar dan bersyukurlah. Sebab sebagian besar pikiran dan waktu kita cenderung digunakan untuk kebaikan-kebaikan. Ada obsesi yang menuntun kita untuk fokus dan tidak macam-macam. Ada idealisme yang membingkai sikap dan perilaku kita untuk konsisten dan memelihara integritas. Ada mimpi yang menjadi energi pendorong dikala raga ini letih, atau saat jiwa ini putas asa. Kita hanya perlu berjanji untuk tidak berhenti, ketika ujian-ujian yang datang semakin berat dan keras. Merenggut kesenangan dan kenyamanan kita. Sebab setelah itulah cahaya harapan akan menyinari jalan-jalan kesuksesan buat kita.

Kedua, bagi kita yang tengah berada di masa kesuksesan, maka bersyukur dan waspadalah. Sebab dengan bersyukur itulah segalanya menjadi berkah. Di masa-masa seperti inilah jebakan-jebakan kesenangan senantiasa hadir di sepanjang jalan. Jika tidak waspada dan hati-hati, setiap saat kita dapat tergelincir dan jatuh. Keberkahan itulah yang dapat menyelamatkan kita sobat. Keberkahan itulah yang menyinari hati untuk selalu merendah. Keberkahan itulah yang menjaga hasrat agar tetap terkendali. Keberkahan itulah yang tetap menumbuhkan cinta dalam jiwa kita, mengikatkan tali ukhuwah kita, mengeratkan persaudaraan kita. Keberkahan itulah yang membuat segalanya tetap biasa dan indah.

Sahabat, teorinya memanglah mudah, tapi melaksanakannya sungguh berat luar biasa. Menjaga integritas dan idealisme di tengah tekanan dan himpitan hidup bukanlah perkara mudah. Sebagaimana tidak mudahnya tampil sederhana ditengah kelebihan dan keberlimpahan harta. Tetap tegak dan melukis senyuman disaat kehilangan tentu perkara sulit. Sebagaimana sulitnya menahan godaan syahwat disaat peluang dan kesempatan di depan mata. Namun bukan berarti tidak mungkin, sobat!

Read More ..

Friday, January 01, 2010

GORESAN SENJA

Seperti inilah setiap tahun. Hari berganti, meninggalkan jejak-jejak sunyi. Semuanya berulang, dan terus berulang. Yang berbeda hanyalah usia yang terus bertambah, umur yang makin pendek dan pahatan-pahatan amal yang menghias lembar sejarah kita setahun penuh. Yang lainnya sama. Diawali dengan Januari dan diakhiri dengan Desember. Semuanya sama. Seperti hari-hari pun terus berulang. Ahad hingga Sabtu, lalu esoknya Ahad lagi…


Sahabat, seperti itulah kenyataannya. Pergantian tahun hanyalah seremonial rutin yang selalu sama di awal dan akhirnya. Yang berbeda hanyalah bagaimana kita memutuskan untuk mengisinya. Ada 12 bulan yang harus kita tuntaskan di dalamnya. Ada 52 pekan yang harus kita lewati. Ada 366 hari yang mesti kita lalui. Ada 8.784 jam yang menjadi ruang-ruang kosong untuk diisi. Lalu, dengan apakah kita telah mengisinya, Sobat?

Sahabat, entah seperti apa tahun yang baru saja kita lalui itu. Entah seperti apa warna dan rasanya. Entah sedalam apa jatuhnya atau setinggi apa menjulangnya. Yang pasti, tetap saja kita harus berbenah. Menghitung ulang semua perencanaan dan mimpi-mimpi kita. Sebab hari-hari yang lewat itu tentu saja tak sepenuhnya sama dengan keinginan kita. Tak selalu sebangun dengan impian kita. Maka pergantian tahun itu seharusnya menjadi momentum untuk kita menata ulang segalanya. Sebagaimana pergantian bulan itu adalah momentum mengukur target rencana, dan pergantian hari itu sebagai momentum mengevaluasi kinerja. Begitulah seterusnya sobat, berulang dan terus berulang dalam hidup kita, hingga siklus itu berakhir diujung takdir yang tak jelas kapan hadirnya…

Untukku, tahun lalu itu adalah transisi. Sebuah masa yang panjang dalam penggalan waktu yang serba abu-abu. Tak pasti ingin menjadi apa dan akan jadi siapa. Tradisi menghilang, obsesi melayang, pikiran kusut dalam kekalutan. Hari-hari yang begitu berat. Malam-malamnya terasa penat. Mata terpejam hanya sekejap. Bahkan kesadaran selalu terjaga dalam siklus siang malam yang rasanya tak akan pernah berakhir. Tarikan egoisme terkadang begitu kuat, meluluh lantakkan makna ukhuwah dan mencerabut akar-akar itsar yang seharusnya tegak menjulang dalam akhlak dan sikap.

Tapi diujungnya, tahun lalu itu adalah titik balik. Sebuah momentum yang mengubah segalanya. Dari nyala asa yang redup dan temaram, menjadi kobar api yang menghidupkan harapan. Dari pekatnya arah ketidak pastian, menjadi setitik cahaya yang menuntun perjalanan. Dari obsesi-obsesi yang berkecamuk di alam pikiran, menjadi peluang untuk melahirkan maha karya di alam kenyataan. Semuanya berubah. Memaksa ku untuk kembali berbenah. Menata ulang cara pandang tentang kehidupan dan masa depan…

Sahabat, seperti itulah kehidupan selalu meninggalkan makna. Dalam setiap jejaknya yang telah hilang oleh pergantian masa. Dari jejak peristiwanya lahir para pahlawan. Tapi dari perenungan atas makna-makna dibaliknyalah orang-orang bijak dibesarkan. Dan alangkah indahnya, ketika kita mampu menjadi bagian dari parade panjang para pahlawan itu, sekaligus memiliki kebesaran orang-orang bijak yang dimuliakan…

Read More ..