Seperti inilah setiap tahun. Hari berganti, meninggalkan jejak-jejak sunyi. Semuanya berulang, dan terus berulang. Yang berbeda hanyalah usia yang terus bertambah, umur yang makin pendek dan pahatan-pahatan amal yang menghias lembar sejarah kita setahun penuh. Yang lainnya sama. Diawali dengan Januari dan diakhiri dengan Desember. Semuanya sama. Seperti hari-hari pun terus berulang. Ahad hingga Sabtu, lalu esoknya Ahad lagi…
Sahabat, seperti itulah kenyataannya. Pergantian tahun hanyalah seremonial rutin yang selalu sama di awal dan akhirnya. Yang berbeda hanyalah bagaimana kita memutuskan untuk mengisinya. Ada 12 bulan yang harus kita tuntaskan di dalamnya. Ada 52 pekan yang harus kita lewati. Ada 366 hari yang mesti kita lalui. Ada 8.784 jam yang menjadi ruang-ruang kosong untuk diisi. Lalu, dengan apakah kita telah mengisinya, Sobat?
Sahabat, entah seperti apa tahun yang baru saja kita lalui itu. Entah seperti apa warna dan rasanya. Entah sedalam apa jatuhnya atau setinggi apa menjulangnya. Yang pasti, tetap saja kita harus berbenah. Menghitung ulang semua perencanaan dan mimpi-mimpi kita. Sebab hari-hari yang lewat itu tentu saja tak sepenuhnya sama dengan keinginan kita. Tak selalu sebangun dengan impian kita. Maka pergantian tahun itu seharusnya menjadi momentum untuk kita menata ulang segalanya. Sebagaimana pergantian bulan itu adalah momentum mengukur target rencana, dan pergantian hari itu sebagai momentum mengevaluasi kinerja. Begitulah seterusnya sobat, berulang dan terus berulang dalam hidup kita, hingga siklus itu berakhir diujung takdir yang tak jelas kapan hadirnya…
Untukku, tahun lalu itu adalah transisi. Sebuah masa yang panjang dalam penggalan waktu yang serba abu-abu. Tak pasti ingin menjadi apa dan akan jadi siapa. Tradisi menghilang, obsesi melayang, pikiran kusut dalam kekalutan. Hari-hari yang begitu berat. Malam-malamnya terasa penat. Mata terpejam hanya sekejap. Bahkan kesadaran selalu terjaga dalam siklus siang malam yang rasanya tak akan pernah berakhir. Tarikan egoisme terkadang begitu kuat, meluluh lantakkan makna ukhuwah dan mencerabut akar-akar itsar yang seharusnya tegak menjulang dalam akhlak dan sikap.
Tapi diujungnya, tahun lalu itu adalah titik balik. Sebuah momentum yang mengubah segalanya. Dari nyala asa yang redup dan temaram, menjadi kobar api yang menghidupkan harapan. Dari pekatnya arah ketidak pastian, menjadi setitik cahaya yang menuntun perjalanan. Dari obsesi-obsesi yang berkecamuk di alam pikiran, menjadi peluang untuk melahirkan maha karya di alam kenyataan. Semuanya berubah. Memaksa ku untuk kembali berbenah. Menata ulang cara pandang tentang kehidupan dan masa depan…
Sahabat, seperti itulah kehidupan selalu meninggalkan makna. Dalam setiap jejaknya yang telah hilang oleh pergantian masa. Dari jejak peristiwanya lahir para pahlawan. Tapi dari perenungan atas makna-makna dibaliknyalah orang-orang bijak dibesarkan. Dan alangkah indahnya, ketika kita mampu menjadi bagian dari parade panjang para pahlawan itu, sekaligus memiliki kebesaran orang-orang bijak yang dimuliakan…
0 comments:
Post a Comment