Tuesday, November 27, 2018

14 Tahun Penuh Cinta


Hari ini, tepat empat belas tahun yang lalu, saya memutuskan untuk mencintaimu. Mengucapkan janji di hadapan walimu untuk menjagamu selamanya. Janji yang kokoh, mitsaqan ghaliza. Mengambil alih tanggungjawab orang tuamu atasmu untuk ku pikul, seberat apa pun itu. Tanggungjawab yang ku terima dengan sadar, bahwa akulah yang akan menerima semua akibat dari ketidak-taatanmu kepada Allah SWT andai aku tak melakukan tugasku sebagai qawwam.

Empatbelas tahun bukanlah waktu yang singkat. Didalamnya telah kau hadirkan dua pasang malaikat kecil yang menjadi penyejuk mata dan cahaya kegembiraan dalam rumah kita. Meski ku tahu, sejak melahirkan mereka hingga membesarkan dan mendidik mereka kau harus menukarnya dengan semua kesenangan dirimu. Aku tahu itu. Meskipun kau tak pernah cerita betapa beratnya tugas itu. Tapi semua terbaca dari lelahnya wajahmu dan redupnya cahaya matamu setiap kali aku pulang kerja, saat matahari sudah tenggelam.

Kumaklumi seluruh keadaanmu itu apa adanya. Dan karena itu aku tak ingin menambah bebanmu dengan membagi beratnya beban yang ku pikul di luar sana setiap kali meninggalkan rumah untuk mencari rezki buat kalian. Tekanan hidup yang kuhadapi dalam pekerjaan, kutelan untuk diriku sendiri. Semakin sedikit yang kau ketahui, semakin ringan sedikit bebanmu dalam menunaikan tugas sebagai istri dan ibu dari malaikat-malaikat kecil yang selalu ingin kita bahagiakan.

Kita sudah sampai di sini. Di titik ini. Banyak tawa yang kita lalui. Tapi tak sedikit tangis yang kita sembunyikan. Aku tahu bagaimana beratnya kau berjuang meredam ego mu, dan menahan amarah yang setiap saat bisa meledak menjadi konflik. Seperti diriku yang terus menerus belajar bagaimana menjadi imam yang baik, mengambil tanggungjawab atas hidupmu dan masa depan para malaikat kecil kita.

Aku hanya ingin membahagiakanmu. Melihatmu lebih banyak tertawa di sisa usia kita yang entah sampai berapa lama. Sambil terus berdo'a semoga kita sekeluarga, bisa dikumpulkan lagi di Syurga-Nya kelak bersama-sama. Meski ku tahu itu tak mudah. Tetapi inilah cita-citaku. Semoga cita-cita kita sama. Agar kaki kita bisa melangkah dan saling menopang. Agar hati kita semakin tegar dan saling menguatkan. Agar selalu ada cinta dalam rumah kita yang menjaga asa untuk tetap memperjuangkan sesuatu yang istimewa. Syurga!

Read More ..

Sunday, November 18, 2018

SIKLUS

Akhirnya saya sampai juga pada sebuah babak baru hidupku. Siklus 20 tahunan mungkin. Kira-kira inilah fase ketiga dari gelombang hidup di sepanjang usiaku yang mendekati 40 tahun saat ini. Sejak lahir hingga lulus sekolah adalah fase pertama. Hampir 20 tahun usia pertama ini kuhabiskan seluruhnya di kampung halaman, bersama orang tua, saudara dan kawan-kawan sekampung. Fase 20 tahun kedua dimulai sejak masuk ke kampus hingga berkeluarga dengan empat orang putra putri sebagai malaikat-malaikatku.


Dan saat ini adalah fase ketiga, diusia hampir 40 tahun. "Life begins at 40" kata pepatah. Mungkin ada benarnya. Entah bagaimana ceritanya, menjelang usia 40 tahun ku ini perubahan-perubahan besar dalam hidupku justru terjadi di luar prediksi. Tak pernah terbayang sebelumnya, setelah 20 tahun berada dalam habitat pergerakan tarbiyah, akhirnya saya harus berpisah, dengan penyebab yang juga tak perlu menyalahkan siapa-siapa.


Enam tahun memburu ilmu di kampus, tiga tahun bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan 10 tahun bergelut dalam dunia politik di gedung parlemen, dan semua itu berhenti di sini. Saat ini. Seiring keputusan berat untuk meninggalkan habitat yang di dalamnya saya menemukan pasangan hidup, mendapatkan tujuan hidup, menemukan keberartian dalam perjuangan, dan semua kebaikan-kebaikan melimpah yang tak mungkin bisa diukur.


Sekilas perubahan besar ini seperti sesuatu yang patah. Terputus. Meninggalkan sesuatu yang lebih memberikan rasa aman, kepastian dan segala kebaikan menuju dunia ketidakpastian dan ribuan kemungkinan. Tetapi tidak! Justru driving force yang dulu menggerakkan saya untuk bergabung dalam habitat adalah energi yang sama yang mendorong saya untuk meninggalkan habitat. Saya melihat dan merasakan bagaimana krisis di dalam habitat terjadi. Perlahan tapi pasti, mendorongnya semakin terdegradasi dan seperti enggan untuk bangkit.


Bukan karena ada yang salah. Hanya saja nilai-nilai yang ada dalam habitat sudah tidak relevan lagi dalam merespon perubahan lingkungan strategis yang ada. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Terlalu banyak kontradiksi antara realitas dan nilai-nilai yang diyakini. Terlalu jauh gap antara cita-cita dan kenyataan. Dan suara-suara pembaharuan menjadi kalah bising oleh doktrin-doktrin tentang adab dan kepatutan seorang prajurit. Kekakuan terlalu kokoh di sini. Tradisi habitat telah menundukkan rasionalitas dan tuntutan beradaptasi.


Tapi, tak perlu ada yang disesali. Setiap pilihan pasti ada resikonya. Saya hanya perlu menjaga motif yang terus bertarung di dalam jiwa untuk memastikan bahwa sejak awal, saat ini, hingga nanti, semuanya merupakan bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Toh, kelak kita semua akan menghadap-Nya sendiri-sendiri. Mempertanggungjawabkan semua pilihan di dunia juga dengan sendiri-sendiri. Penilaian manusia itu relatif semuanya. Kita lah dan Yang Maha Mengetahui Segala sesuatu, yang tahu apa yang bergejolak dalam jiwa kita. Dia Maha Adil, Maha Mengetahui, dan pemberi balasan yang Maha Bijaksana.


Semoga ini langkah tebaik, dari ikhtiar saya sebagai manusia selalu punya potensi salah. Bismillah...


Read More ..