Lelaki muda itu terduduk lama di kursi kerjanya. Sendiri, dalam dingin AC yang menyelimuti ruang kerja pribadinya itu. Kedua tangannya memegangi kepala yang tertunduk denagan jari-jari menjambak rambut, seperti hendak menyingkirkan beban di atas kepala yang begitu berat. Matanya yang sayu menatap kosong ke atas meja kerja yang sedikit berantakan oleh kertas kerja dan beberapa buah buku. Sambil menghela nafas panjang, sesekali ia tampak menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya, sungguh berat permasalahan yang dihadapinya…
Beberapa waktu sebelumnya, ia menerima telepon dari Bapaknya di kampung yang meminta dikirimi sejumlah uang untuk keperluan tertentu, soalnya sang Bapak sedang istirahat dari pekerjaannya sebagai pedagang ikan harian akibat sakit maag akut yang di deritanya sejak beberapa tahun yang lalu. Tak lama berselang adiknya yang masih kuliah juga menelpon minta bantuan sejumlah dana untuk keperluan kuliahnya. Beberapa hari sebelumnya dia juga harus membantu biaya operasi adik sepupunya yang mengalami penggumpalan darah di saluran otak akibat terjatuh dari lantai dua masjid menjelang shalat jum’at. Belum lagi hampir setiap hari istrinya mengingatkan untuk melunasi sejumlah utang pada beberapa sanak keluarga yang dulu pernah memberikan piutang dimasa krisis financial. Apalagi di awal-awal bulan seperti sekarang ini, lembar-lembar tagihan melalui jasa pos hampir setiap hari menyambangi rumahnya. Sungguh, tekanan yang luar biasa….
Pernah suatu waktu, dia berdiskusi dengan rekan kerjanya. Dia mengeluhkan besarnya biaya hidup yang tidak sebanding dengan besarnya penghasilan. Ternyata kondisinya tak jauh berbeda dengan rekan kerjanya itu. Sampai rekannya itu berandai-andai, “bisa tidak ya, kita membeli sesuatu tanpa harus menjual sesuatu juga?”. “Hahahahahah….”, tawa meledak diantara keduanya. Menertawai nasib mereka yang kelihatan lucu. Lucu, sebab penghasilan mereka sesungguhnya tergolong besar jika dibandingkan dengan standar UMR yang ada, tapi juga lucu karena mereka tak pernah surplus dengan penghasilan sebesar itu. Sampai-sampai rekannya itu untuk membeli sebuah laptop harus dibayar dengan menjual motor andalannya. Bahkan, si lelaki muda ini turut berandai-andai, “kapan ya, uang itu tidak jadi masalah dalam kehidupan?”. Sepertinya, disinilah letak masalah lelaki muda ini…
Sahabat,
Cerita ini bukan kisah fiktif karanganku. Cerita ini sungguh nyata kejadiannya. Bahkan kejadian seperti ini banyak terjadi di berbagai tempat. Atau mungkin juga sedang terjadi pada diri kita. Ini adalah permasalahan klasik manusia. Dimana kebutuhan selalu mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu, sementara penghasilan cenderung tetap. Guru saya Anis Matta pernah berkata, “bukan kebutuhan hidup kita yang besar, tetapi penghasilan kita yang terlalu kecil”. Betul sekali, sebab kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda, tergantung gaya hidupnya. Itu berarti, orang yang biaya gaya hidupnya lebih besar ketimbang penghasilannya, maka sesungguhnya tetap saja ia dikategorikan berpenghasilan kecil, sebesar apa pun penghasialannya. Begitu pun sebaliknya. Oleh karena itulah Anis Matta juga mengingatkan, “jangan pernah memilih gaya hidup yang lebih besar dari penghasilanmu, sebab gaya hidup itu tak kenal kata turun, sementara penghasilan sangat susah untuk naik”.
Sahabat,
Mungkin karena itulah guru saya itu memberikan nasehat, “jangan sibuk memikirkan besarnya kebutuhan, tapi fokuslah untuk berpikir bagaimana menaikkan besar penghasilan!”, and I think… that’s right bro! Hmm… mirip-mirip pesannya Khalid bin Walid Ra kepada pasukan Islam dalam setiap pertempuran, “janganlah sibuk menghitung-hitung berapa besarnya jumlah musuh, tapi sibuklah menghitung berapa kepala musuh yang telah kau penggal dalam peperangan ini!”. Wah... luar biasa!!!
Maka dari itu sobat, mari membangun paradigma baru ini dalam kehidupan kita. Sebab kebutuhan hidup kita setiap harinya akan terus mengalir dalam daftar panjang yang harus dipenuhi. Sekarang mungkin belum terasa, sebab Anda belum berkeluarga, atau mungkin karena anak-anak masih sedikit dan belum sekolah. Tapi nanti, segalanya pasti berubah. Suatu saat daftar kebutuhan dan keinginan akan mengepung pikiran kita, membuat jiwa kita terkoyak-koyak oleh karena kelemahan dan ketidak mampuan kita untuk memenuhinya. Seperti lelaki muda tadi, yang tertunduk lesu dalam kesendirian yang menyiksanya. Berharap istri dan anaknya senantiasa tersenyum bahagia dalam setiap hari-harinya, ternyata harus menangis sedih atas ketidak mampuan pemimpin rumah tangganya…
Sahabat,
Rezki memang di tangan Allah, tapi ia harus dijemput dengan kerja keras dan do’a. Bahkan makanan yang sudah ada di depan mata pun, masih membutuhkan ikhtiar kita untuk menyuapnya agar masuk ke dalam mulut dan memakannya. Apalagi seuatu yang masih rahasia dan bersembunyi dibalik kemurahan dan kasih sayang Allah. Tentulah membutuhkan ikhtiar dan do’a yang lebih dahsyat lagi untuk meraihnya. Dan sungguh Allah SWT, memberikan harga yang luar biasa bagi mereka yang bermandikan keringat karena bekerja. Dan sungguh Allah SWT, mengabulkan do’a orang-orang yang meminta kepada-Nya setelah bekerja. Maka, bekerja dan berdo’alah sobat….
0 comments:
Post a Comment