Wednesday, October 22, 2008

MEMAKNAI KRISIS

Sahabat, hari-hari ini sepertinya akan menjadi sepenggalan masa-masa sulit untuk kita. Berbagai krisis seolah berlomba meghampiri setiap sisi kehidupan yang ada. Mulai dari krisis financial yang terjadi di Amerika dan berimbas terhadap seluruh dunia, termasuk kita, hingga hanya sekedar krisis air dibeberapa bagian bumi Indonesia, salah satunya disini, di tanah Makassar.


Tapi lebih dari itu, kita rasanya patut mengakui bahwa krisis yang terjadi bukan melulu pada masalah material seperti uang atau pun air. Sepertinya krisis kita jauh lebih luas menjelajah ke dalam sendi-dendi kehidupan: krisis moral, krisis akhlak, krisis sensitivitas, krisis ide, krisis visi…

Ya, kita memang krisis moral dan akhlak. Bergantian pemimpin dan masyarakat kita mempertontonkan fragmen ‘kedurhakaan’ yang tak tahu malu. Ada skandal seks public figur, ada korupsi miliaran rupiah pejabat negara, ada suap aparat hukum , ada mutilasi, ada pemerkosaaan, perampokan disertai pembunuhan, perang antar kampung, tawuran pelajar dan mahasiswa, pesta narkoba para artis, hingga saling lempar dan anarkhi supporter sepak bola…

Ya, kita juga krisis sensitivitas. Disaat sebagian tetangga kita rela meregang nyawa untuk sekadar berebut uang zakat, sebagiannya lagi melakukan parade mobil mewah. Disaat separoh anak-anak kita putus sekolah karena tak mampu menanggung biaya, sebagiannya lagi memadati mall-mall raksasa dan memborong semua program diskon yang ada. Bahkan disaat sebagian saudara kita harus memakan nasi aking untuk mampu bertahan hidup, sebagiannya lagi berlomba-lomba menyelenggarakan pesta-pesta orang kaya. Ketika sebagian rakyat kita menangis menahan rasa sakit sambil menunggu ajal menjemput karena mahalnya biaya pengobatan, disaat yang sama para pejabat negara kita sedang tertawa sambil menghisap dalam-dalam cerutu kuba dalam rapat tentang rakyat miskin…

Ya, kita memang gerah. Kita wajar untuk marah. Tapi pantang bagi kita berputus asa…
Sesungguhnya krisis utama yang seharusnya kita takutkan adalah jika bangsa yang besar ini telah krisis ide, krisis visi. Bangsa ini membutuhkan sebuah narasi besar untuk keluar dari krisinya, sekaligus untuk menentukan arah masa depannya.

Gajah Mada datang dengan narasi nusantaranya. Ide raksasa itulah yang sampai saat mempertahankan Indonesia sebagai bangsa yang besar.

DR. Sutomo datang dengan narasi kebangkitannya. Ide raksasa inilah yang menginsipirasi seluruh perjuangan kebangkitan Indonesia sepanjang sejarah.

Soekarno datang dengan narasi revolusinya. Ide raksasa inilah yang mengantarkan bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya.

Soeharto datang dengan narasi pembangunannya. Ide raksasa inilah yang membawa bangsa Indonesia dihormati dan disegani di dunia Internasional.

Lalu, narasi apakah yang saat ini sedang kita jalani untuk keluar dari lilitan krisis dan menatap masa depan kita?

Saya percaya, bahwa sekelompok kaum muda saat ini sedang bergerak dengan gagah membawa sebuah narasi besar. Saya percaya, bahwa hanya karena mereka masih dianggap terlalu muda sajalah sehingga arus ide raksasa yang mereka bawa belum menemukan momentum ledakannya. Seperti apatisme rakyat Perancis untuk bangkit di bawah bendera Joan of The Arch, hanya karena dia wanita. Dan saya juga percaya, bahwa hanya dengan meleburkan diri di dalam pusarannya dan menjadi bangian dari arus kuat yang akan mendobrak krisis bangsa ini, kontribusi kepahlawanan baru menemukan bentuknya…

Maka, sahabat...
Menghadapi krisis ini yang kita butuhkan adalah sebuah optimisme, sebuah harapan. Bahwa diseberang sana, di rentang waktu yang berbeda, secercah sinar harapan sedang menanti kita. Kita hanya perlu menguatkan hati kita, memperkokoh keyakinan kita, meneguhkan kesabaran kita, bahwa hanya dibutuhkan sebuah keberanian untuk melalui sepenggal hambatan ini dengan gagah. Dan setelah itu kita akan sampai pada kehidupan yang lebih baik, pada era yang lebih stabil, pada masyarakat yang madani.

Sahabat, optimisme dan harapan adalah benteng pertahanan terakhir menghadapi krisis. Jika ini pun telah hilang dalam diri kita, maka tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari sebuah bangsa yang putus asa. Dan sejarah tidak pernah malu untuk menceritakan keruntuhan suatu bangsa, tentang tenggelamnya sebuah peradaban…

0 comments:

Post a Comment