Makanya pasca Pileg, puing-puing korban perang 2014 masih berserakan dimana-mana. Terutama puing hati para Caleg gagal. Saya tahu beberapa sahabat saya yang gagal adalah sosok yang begitu aktif memperjuangkan aspirasi masyarakat di kantor Dewan. Tapi bagi sebagian besar pemilih itu semua hanya masa lalu. Yang penting saat ini kata mereka, adalah “yang ada di depan mata”.
Salahkah mereka? Tidak juga. Perilaku pemilih seperti ini adalah hasil dari jualan politisi yang diproduksi oleh partai politik. Tak ada penjual, tak ada pembeli! Terlalu banyak anggota Dewan yang setelah Pemilu selesai tak pernah lagi menyapa konstituennya. Padahal ketika kampanye dulu janjinya segudang. Akhirnya para pemilih mulai belajar, dari pada jadi korban janji Caleg lagi, lebih baik janjinya disetor di depan. Soal janji yang lain, yah nanti sajalah setelah terpilih. Pada saat yang sama, parpol rame-rame merekrut Caleg vote getter dari kalangan pemilik modal. Gayung bersambutlah dengan keinginan Pemilih. Jadilah Pemilu Legislatif 2014 yang lalu ajang transaksi suara terbesar dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Yah, miris memang. Tapi setidaknya, selalu ada sisi baik yang dapat dipetik. Dalam Pileg kali ini para pemilih mulai “tega” mengambil uang para Caleg lalu tidak memilihnya. Seperti kampanye yang selama ini didengungkan, “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya!”. Dari lima Caleg yang datang ke pemilih menawarkan uang, pada sebagian pemilih, semua “sumbangan” tersebut diambil, dan hanya memilih satu di antaranya. Dari aspek “teganya” sudah bagus. Semoga kedepan “ke-tega-an” ini tetap terpelihara untuk memberi efek jera kepada politisi karbitan berkantong tebal. Tinggal bagaimana mengajak masyarakat agar memilih calon-calon legislative yang kredibel, dekat dan lebih peduli dengan mereka. Wallahu ‘alam…