Segera saya bergegas menuju rumah duka. Sambil menyetir bayangan Ustadz Muhammad terus melayang dalam fikiranku. Berusaha mengingat penggalan-penggalan memori kebersamaan dengan Beliau . Saya bahkan tidak lagi mengingat kapan terakhir kali bertemu dengannya. Pernah suatu ketika saya I’tikaf Ramadhan dengan Beliau , entah berapa tahun yang lalu. Ia bercerita tentang putrinya yang masih kelas satu SD. Putrinya yang masih sekecil itu menulis surat untuknya, yang isinya menggambbarkan kecintaan kepada Abi dan Umminya, juga cita-citanya, dan keinginannya untuk masuk Surga jika mati kelak. “Subhanallah, anak sekecil itu…”, kata Ustadz Muhammad dengan mata berkaca-kaca waktu itu…
Tidak sadar, air mata telah menganak sungai di wajahku. Mengingat kebersahajaan dan kesederhaan Beliau . Seorang kader senior yang kebersahajaannya tidak luntur oleh perubahan mihwar dakwah. Tiba-tiba terbersit rasa penyesalan dalam hatiku. Penyesalan yang sangat dalam. Sekitar sebulan yang lalu beredar pesan informasi tentang Beliau dan keluarganya yang sedang dirawat di RS. Wahidin. Tak terlalu jauh dari rumah. Tapi saya tak pernah mampir disana menjenguk keluarganya. “Astagfirullah!, Saudara macam apa saya ini???" Saya hanya sempat meminta nomor rekening untuk bisa membantu meringankan beban Beliau , tapi informasi nomor rekening itu tak pernah dikirimkan oleh pemberi informasi duka. Hingga Beliau wafat hari ini, saya tak pernah memberi apa-apa padanya…
Setibanya di rumah duka saya menyeka air mata yang sedari tadi mengalir seperti tak mau berhenti. Hanya mata yang masih terlihat sembab, tapi biarlah, toh namanya sedang berduka. Disana telah berkumpul beberapa ikhwah dan ustdaz senior. Setelah salaman dan bercengkrama sejenak, saya masuk ke ruang tengah tempat jenazah Beliau berada. Di dekat jenazah itu, saya tak kuasa menahan deras air mata yang terus mengalir, seiring mengalirnya do’a-do’a keselamatan dan keindahan tempat kembali untuknya. Hanya air mata, dan unataian do’a…
Lalu saya mendekat ke jenazah, membuka kain penutup jenazah dan melihat wajahnya untuk terakhir kali. Dan ketika kain yang menutupi wajah Beliau tersingkap, tak sadar tangis saya pecah. Badan saya terguncang hebat! “Subhanallah!!!” Beliau nampak tersenyum bahagia, dengan wajah yang putih bersih penuh damai. Beliau tersenyum, ya Allah… Saya tak peduli lagi dengan keheranan kerabat Beliau yang berkumpul mengelilingi jenazah Almarhum. Saya terus menangis. Tangisan luapan kecintaan saya kepada Beliau yang tak pernah ia terima semasa hidup.
“Uhibbuka Fillah, ya Ustadz… Aku mencintaimu karena Allah. Cinta seorang saudara yang lalai memenuhi hak-hak saudaranya. Cinta yang menunggu maafmu, meski ku tahu pintu maafmu selalu terbuka lebar untuk saudaramu ini. Semoga kau temukan apa yang selalu kita semua rindukan, surga! Semoga Allah SWT membalas setiap kebaikan dan amal ibadahmu serta pengorbananmu yang begitu banyak bagi dakwah ini dengan balasan yang berlipat-lipat jumlahnya. Semoga kebaikan-kebaikanmu, dan pahala jariahmu, terus mengalir menyinari kuburan dan melapangkan jalanmu menghadap-Nya… Amin Ya Rabbal Alamiin… Selamat Jalan Ustadz Muhammad… Sahabat yang bersahaja…”