Bunda…
Hari ini di negeri kita adalah harimu. Banyak kaummu yang memperingatinya. Hari yang istimewa, sebab menelusuri sejarah pun tak akan membantuku menemukan apresiasi yang sama pada lelaki dengan memperingati Hari Bapak. Banyak orang mengapresiasi harimu ini, entah seperti apa apresiasi mereka. Yang ku tahu, untukmu Bunda, aku ingin menyatakan cintaku. Bukan hanya hari ini, tapi di setiap hari yang nafasku masih ada untuk merindukanmu…
Bunda…
Tak terasa, telah tujuh tahun lamanya engkau pergi, dan tentu saja tak akan pernah kembali. Sebab kepergianmu itu adalah kepulangan ke kampung yang sesungguhnya. Engkau pergi saat aku sedang membutuhkanmu, Bunda. Saat usia ini beranjak dewasa dan menapaki setapak demi setapak ujian hidup yang sesungguhnya. Saat kepala ini membutuhkan pundak, sebagai sandaran berkeluh kesah atas badai ujian yang tak ada habisnya…
Bunda…
Tapi engkau patut bangga. Sebab aku tidak tumbuh menjadi anak yang manja. Aku kuat, Bunda! Aku tak jatuh saat engkau tiada. Aku memutuskan menerima tanggung jawab hidup ku ini apa adanya. Sebab kusadari, tenggelam dalam kesedihan hanyalah memperumit keadaan. Bahkan aku tak menangis, Bunda. Sebab aku tak ingin air mata ini menjadi jangkar kepulanganmu, ke pangkuan-Nya…
Bunda…
Di tengah pertarungan hidup yang begitu keras, tak lupa ku kirimkan do’a buatmu. Di setiap akhir sujud-sujudku, senantiasa kusempatkan bermunajat untuk kebahagianmu di sana, setiap hari. Berharap, Allah yang Kuasa mempertemukan kita kelak di tempat yang sama, di Surga-Nya…
Bunda…
Terima kasih untuk semua yang telah kau beri. Terima kasih karena engkau telah mengajarkan aku tentang agama, meski dengan segala keterbatasanmu. Terima kasih telah mengajarkan aku untuk pantang menyerah, atas setiap realitas hidup yang menghampiri. Terima kasih telah mengajarkan aku untuk rendah hati dalam setiap keadaan, kapan pun, dimana pun, sebab Allah lah yang Maha Tinggi. Semuanya begitu bermakana, Bunda…
Bunda…
Telah banyak yang berubah. Anak-anak mu telah tumbuh dewasa. Tumbuh menjadi manusia yang sesungguhnya. Meninggalkan tanah kelahiran tempat kami engkau besarkan. Menantang hidup menyongsong masa depan. Merealisasikan sebagian mimpi yang sempat kau ceritakan. Mimpi tentang anak-anak yang berbakti kepadamu. Tentang rumah, tentang keluarga, juga tentang Surga…
Oh ya Bunda…
Sebagian mimpimu itu telah terwujud. Entah ketajaman mata hati seperti apa yang kau miliki hingga mampu melihat masa depan, semuanya persis seperti yang engkau ceritakan. Tentang aku yang akan pertama kali berkeluarga. Tentang pasangan hidup yang jauh dari tanah kelahiran kita. Juga tentang obsesi yang membawa kami merantau ke tanah orang. Saat ini, semua itu nyata. Meski aku hanya menganggap semua kebetulan saja…
Satu lagi Bunda,
Cucu pertamamu telah genap 3 tahun. Seorang perempuan yang manis dan lucu (setidaknya kata teman-teman dan tetanggaku). Di wajahnya ada raut wajahmu yang cantik. Ia mengisi kekosongan hatiku sejak engkau pergi tujuh tahun yang lalu.
Bunda…
Terakhir ingin ku ucapkan, permohonan maaf atas segala khilaf dan dosaku, sejak lahir hingga membersamaimu di akhir hidup. Maafkan atas ketiadaanku saat terakhir kali kau memanggil-manggil namaku, sebelum malaikut mengambil jiwamu. Entah bagaimana menghaturkannya, pengganti cium tangan yang setiap Ied Mubarok aku lakukan untukmu. Maafkan aku, Bunda…
0 comments:
Post a Comment