Tuesday, February 03, 2009

GELAR ITU KINERJA SEJARAH

Sahabat,
Seberapa pentingkah gelar itu dalam kehidupan kita? Saya yakin sebagain besar kita menganggapnya tidak penting. Saya pun berpikir demikian. Apalagi jika hanya sekedar gelar akademik yang dibangga-banggakan oleh banyak orang itu, terlalu naïf rasanya. Tetapi ada gelar lain yang mengusik pandanganku itu, yaitu gelar sosial.

Jika kita membaca kembali sejarah baginda Rasul dan para sahabatnya (sirah nabawiyah), maka kita justeru akan menemukan banyak gelar-gelar sosial di dalamnya. Rasulullah sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul, oleh masyarakat Arab saat itu diberi gelar Al-Amiin (orang yang amanah). Empat sahabat utama bergelar khulafaurrasyidiin. Abu Bakar bergelar Ash-Shiddiq (Orang yang jujur). Ummar bin Khattab bergelar Al-Faruq (pembeda kebenaran). Ali bin Abi Thalib bergelar Baabul Ilm (pintu-pintu ilmu). Hamzah bin Abdul Muthalib bergelar As-Sayyid Asy-Syuhada (penghulu para syuhada). Khalid bin Walid bergelar Syaifullah (pedang Allah). Dan masih banyak gelar bagi para sahabat-sahabat Rasul yang mulia itu.


Tentu saja gelar-gelar itu bukan tanpa sebab. Seluruh gelar-gelar mulia para sahabat baginda Rasul adalah buah dari kinerja sejarah mereka. Gelar Ash-Shiddiq untuk Abu Bakar ada sejarahnya, seperti juga gelar Syaifullah untuk Khalid bin Walid ada sejarahnya. Dan sejarah mereka itu sungguh-sungguh adalah sejarah besar tentang peristiwa luar biasa yang mereka toreh, bukan peristiwa biasa-biasa saja. Itulah sebabnya sebagain besar pahlawan memiliki gelar-gelar mulia bagi masyarakatnya.

Memberikan gelar (label) kepada seseorang juga adalah tradisi masyarakat kita. Sebut saja misalanya Syamsyul Haeruddin striker PSM Makassar mendapat gelar “Nedved” di tengah namanya. Atau teman saya di kampus lain masa kuliah dulu diberi gelar “Tiger” oleh mahasiswa di kampusnya. Gelar itu pun tentu ada sejarahnya. Entah itu sejarah mulia atau sejarah kelam yang meninggalkan luka.

Sahabat,
Bisa jadi gelar-gelar itu merupakan potret kontribusi kita. Kinerja sejarah kita. Sehingga kita patut bertanya, sudahkah kita berkontribusi bagi ummat dan bangsa ini? Boleh jadi nama kita belum mendapat gelar apa-apa hanya karena kita memang belum bekerja apa-apa. Lebih parah lagi jika kita sudah punya gelar, tapi gelar itu adalah cermin keburukan kita. Meskipun perspektif seperti ini rasanya memang sangat naïf untuk menjadi ukuran kinerja sejarah kita. Tapi setidaknya menurut saya, kekosongan gelar untuk kita itu merupakan bukti bahwa kita belum menciptkan sebuah maha karya yang luar biasa.

So, bagaimana dengan Bang Irwan?

Hahahahaha… tentu tak pernah lebih dari anda sekalian. Tapi setidaknya bagi sebuah komunitas kecil dalam hidupku, namaku sempat ditambahkan 3 huruf dibelakangya, BEM. Irwan BEM. Bukan sebuah gelar, tapi lebih dari sekedar penanda bahwa aku pernah ditakdirkan untuk bergelut dalam dunia pergerakan mahasiswa yang lebih solid dan memiliki daya dobrak menakutkan bagi pemerintah saat itu. Sebuah kenangan pahit buat Ibu Megawati Soekarnoputri yang harus berakhir dengan tragis pada Pemilu 2004.

2 comments:

Umi Rina said...

Gelar itu didapat melalui sebuah proses, dan perjuangan yang mengalir di dalamnya. Dan itu sangat berarti dan tak ternilai harganya bagi penyandangnya... :)

Bang Irwan said...

Satuju atuh Mba'
Cos Allah lah yg menentukan hasil dari setiap ikhtiar kita. Oleh karena itu gelar2 kepahlawanan adalah buah dari proses itu, bukan hasilnya....

Post a Comment