Autokritik Setahun Anggota DPRD Kota Makassar
Melihat judulnya, mungkin pembaca dapat memahami keterkaitan antara 'suara rakyat' dan 'Wakil Rakyat'. Tetapi ada apa dengan 'angin lewat'? Dan apa hubungan 'suara rakyat', 'Wakil Rakyat' dan 'angin lewat'? Setidaknya tiga pasangan kata inilah yang mampu mewakili refkleksi penulis selama tahun pertama menjadi 'Wakil Rakyat' di Kota Makassar. Amanah yang pada dasarnya bukan diberi, tetapi direbut. Jabatan yang diraih dengan 'perjuangan sakral', kata Cak Nun dalam bukunya 'Demokrasi La Roiba Fih' .
Disebut sakral sebab mereka (para caleg) harus menempuh salah satu dimensi 'sufisme', yakni 'rela kehilangan dunia', bukan saja mengeruk habis uang yang mereka punyai, menjual rumah, tanah, dan perhiasan, tetapi bahkan rela berutang untuk memberikan yang terbaik kepada rakyatnya, uang, karpet pengajian, pesawat televisi, tiang listrik, pengaspalan jalan, jembatan, rebana dan sebagainya. Tentu saja bukan bermaksud untuk pamrih, tetapi sebagai wujud kecintaan mereka yang tulus pada rakyatnya. Demikian menurut Emha Ainun Nadjib.
Suara Rakyat
Vox Populi Vox Dei (Suara rakyat suara tuhan). Itulah adagium yang sangat popular untuk menggambarkan betapa sakralnya suara rakyat, meskipun tidak sepenuhnya demikian. Bagi penulis, suara rakyat ada dua, pertama suara dalam bentuk hak untuk memilih wakilnya secara bebas tanpa paksaan (dan godaan). Suara ini hanya tersampaikan sekali dalam lima tahun. Meskipun lima tahunan, tetapi suara ini memiliki peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu suara ini sangat berharga. Saking berharganya suara jenis ini dapat diperjual-belikan oleh rakyat secara bebas dalam setiap momentum Pemilu.
Kedua, suara kebutuhan atau istilah kerennya 'aspirasi'. Suara yang merupakan panggilan hak dasar rakyat atas penyelenggara negara untuk terwujudnya keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan. Ada yang tersampaikan dengan lantang, ada pula yang tersedak di kerongkongan. Ada yang tersampaikan dengan nyanyian, adapula yang terungkapkan dengan diam. Ia tersampaikan melalui berbagai sarana: media massa, unjuk rasa, internet, jejaring sosial, dsb. Disinilah peran Wakil Rakyat dibutuhkan sebagai penyambung suara rakyat. Istilah Bung Karno, 'Penyambung lidah rakyat'.
Wakil Rakyat
Sebagai 'Penyambung lidah rakyat', para Wakil Rakyat tentu saja adalah orang-orang yang 'empatik', 'tulus' dan 'memiliki kepekaan nurani'. Mereka mampu menyerap dan menangkap suara rakyat, baik yang tersampaikan secara terbuka mau pun jeritan-jeritan yang tersembunyi. Oleh karena itu para Wakil Rakyat pasti memiliki 'receiver' aspirasi yang banyak. Selain yang sudah diatur di dalam undang-undang seperti reses dan penerimaan aspirasi, mereka juga pasti membuka akses diri yang seluas-luasnya, melalui telepon seluler, email, website, facebook, twitter, atau bahkan rumah aspirasi. Orang-orang yang patut dibanggakan atas berbagai 'pengorbanan' dan 'keikhlasannya'.
Catatan kritis
Penulis telah mendengarkan ratusan suara rakyat dalam setahun. Ada yang tersampaikan dengan santun tetapi kritis, ada pula yang tersampaikan dengan penghinaan dan caci maki, dan tak jarang yang tersampaikan dengan isak tangis. Temanya bermacam-macam. Pencemaran lingkungan di Tallo oleh industri baja, limbah indsutri gula di Tamalanrea, penyerobotan fasum dan fasos di Manggala, perda Tata Bangunan yang banyak dilanggar 'pengusaha besar', alih fungsi lahan di Karebosi, penggusuran pedagang kecil oleh pemodal besar di pasar Pa’baeng-baeng, ruislag SD di Tamalanrea dan Tamalate, kemacetan disepanjang jalan Perintis Kemerdekaan, dan sebagainya, dan sebagainya.
Dengan segenap wewenang dan keterbatasan para Wakil Rakyat , Alhamdulillah sebagian aspirasi itu telah 'ditindaklanjuti'. Dan sangat beruntung bagi penulis sebab berada ditengah-tengah Wakil Rakyat yang 'peduli' dan 'responsif'. Rekomendasi demi rekomendasi telah dikeluarkan. Teguran dan kritik untuk pemerintah senantiasa disuarakan. Mereka berani 'melawan' pelanggaran dan ketidakadilan di Kota ini.
Angin lewat
Tetapi, suara Wakil Rakyat itu bagai 'angin lewat'. Seperti (maaf) 'kentut' yang baunya menghebohkan tetapi tak mengubah apa-apa. Wakil Rakyat dikritik. Wakil Rakyat dicurigai. Tetapi mereka tidak marah, sebab mereka memahami 'ketidaktahuan' rakyat atas 'perjuangan' mereka yang begitu 'gigih'. Toh mereka memang sejak awalnya adalah para 'pejuang yang ikhlas'. Rekomendasi telah ditandatangani. Kritik telah dilayangkan. Tugas konstitusional telah dilaksanakan. Semuanya kembali pada Pemerintah yang 'bebal' terhadap suara kritis wakil rakyat itu.
Seolah pemerintah tidak memahami dengan baik kewenangan besar wakil rakyat yang diamanatkan oleh undang-undang. Bahkan pemerintah seolah tidak tahu bahwa wakil rakyat itu adalah 'penyambung lidah rakyat' yang suaranya sakral dan suci. Seolah-olah pemerintah tidak menghargai dedikasi rakyat yang mengikuti semua proses Pemilu dengan sabar. Proses Pemilu yang paling rumit di dunia.
Meskipun sebagian rakyat kembali berteriak, “bukankah Wakil Rakyat masih punya hak politik atas kebebalan pemerintah itu?”. Betul. Masih ada Hak Interpelasi dan Hak Angket. Hak wakil rakyat yang diamanatkan oleh undang-undang. Tetapi dalam praktiknya, bahkan DPR RI pun yang begitu 'garang' tak pernah menuntaskan 'Hak Sakral' tersebut. Sebab selain 'penyambung lidah rakyat', wakil rakyat juga adalah 'penyambung lidah partai' yang harus berpikir secara politik. Dan tentu saja, sebagian muatan politik itu adalah 'kepentingan'.
Sekadar autokritik
Tulisan ini bukan untuk menyinggung siapa-siapa. Bukan pula untuk diperdebatkan oleh siapa-siapa. Hanya sekedar evaluasi dan autokritik untuk penulis sendiri yang telah diberikan amanat oleh rakyat. Mereka yang telah menitipkan harapan begitu besar, dari yang berteriak hingga mereka yang memilih diam, atau pun yang dibungkam. Setahun itu bukan waktu yang singkat untuk tidak mempertanggungjawabkan apa-apa. Jika ada yang merasa tersinggung penulis memohon maaf.