Perhatikanlah bagaimana manusia purba yang awalnya hidup nomaden dan berkelompok kemudian memutuskan untuk menetap dan bercocok tanam. Tantangan hadir dari internal mereka, dimana jumlah populasinya mulai besar dan sangat merepotkan ketika harus bermigrasi. Perubahan lingkungan alam juga memaksa mereka untuk tidak lagi bergantung pada perubahan musim, tetapi menciptakan sendiri sumber-sumber makanan melalui bercocok tanam. Maka lahirlah sebuah kebudayaan baru yang menjadi tonggak dimulainya era sejarah yang baru.
Begitupun kita dan organisasi dakwah kita, terus berubah. Setidaknya yang kasat mata adalah perubahan strategi dan struktur organisasi. Dari partai tertutup dan ekslusif menjadi partai terbuka yang inklusif. Dari kinerja charity menjadi kinerja empowering. Dari pencitraan politik melalui media menjadi kontribusi politik melalui kinerja. Dari struktur organisasi berbasis tugas menjadi struktur organisasi berbasis segmen. Dan berbagai perubahan-perubahan strategis lainnya.
Setidaknya ada dua tantangan yang membuat kita harus berubah. Pertama adalah tantangan kapasitas. Ini adalah tantangan yang hadir sebagai konsekuensi pertumbuhan mihwar dakwah, dari mihwar muassasi menuju mihwar daulah (negara). Kapasitas kepemimpinan kita akan dipertanyakan. Sebab kita akan mengelola sebuah negara, bukan hanya sebuah partai politik. Kita harus memiliki kapasitas untuk memimpin 230 juta rakyat Indonesia, yang terdiri dari ribuan suku dan budaya, beragam agama serta etnis, mengelola wilayah teritori ketiga terbesar di dunia, mengadapi keberagaman dan pluralitas, dan membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita mampu memimpin Indonesia? Dan kalau pun kita mampu, apakah rakyat Indonesia percaya bahwa kita mampu memimpin mereka? Tentu saja kepercayaan rakyat itu tidak lahir sertamerta hanya dengan kepercayaan diri kita mengatakan “Ya!”. Tetapi kepercayaan itu harus dibangun melalui interaksi yang panjang dengan mereka. Rakyat harus melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa “ya!”, memang kita memiliki kapasitas untuk memimpin mereka.
Tantangan kedua adalah perubahan lingkungan strategis. Inilah era Web 2.0, dimana setiap orang dimuka bumi saling terkoneksi. Koneksi antar individu ini melahirkan sebuah jejaring raksasa yang lebih besar dan lebih kuat dari institusi negara. Itulah yang terjadi di Timur Tengah tahun ini, revolusi jejaring sosial. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah segera mendapatkan respon publik hanya dalam hitungan detik dan dalam jumlah yang massif. Setiap individu bebas menyatakan pendapatnya, sikapnya dan perasaannya kepada siapa saja dan dimana saja. Bahkan pendapat individu ini dapat saja menjadi pendapat massa, sebab jejaring ini bekerja secara horizontal tanpa ada yang merekayasa dan mengendalikan. Teknologi informasi telah membuat setiap individu menjadi powerful, dan menjadi unborderles civilization.
Kesadaran akan tantangan inilah sehingga para qiyadah menjawabnya dengan melakukan perubahan-perubahan strategis dalam organisasi dakwah kita. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu tidak akan bermanfaat banyak jika organisasi dan kader kita di bawah tidak menyesuaikan diri dan melakukan perubahan-perubahan yang sama. Sebab pelaksana operasional dari hampir semua kebijakan-kebijakan strategis itu adalah struktur di bawah dan kader.
Oleh karena itu sangat urgen rasanya kita merencanakan rekayasa untuk mengubah mindset , kultur dan cara bekerja pengurus serta kader-kader dakwah. Sudah saatnya kita mendorong kultur baru dalam organisasi kita, kultur organisasi pembelajar. Dan tentu saja, salah satu jalannya adalah mendorong hadirnya kesadaran akan tantangan dakwah hari ini dan yang akan datang. Wallahu ‘Alam.
0 comments:
Post a Comment