Hari ini banjir datang lagi, sama seperti tahun kemarin. Sebuah silkus tahunan yang tak perlu lagi diratapi, tapi dinikmati. Namun, ada yang hilang pada banjir tahun ini. Tentu saja bukan panitia penyambutan banjir yang belum terbentuk. Melainkan sesuatu yang sangat berharga, sebuah tradisi…
Di tahun-tahun kemarin banjir memberikan kesempatan pada warga kompleksku untuk saling membantu membersihkan sisa-sisa banjir bersama-sama, dalam canda dan tawa yang garing. Sementara ibu-ibu menyiapkan kopi hangat dan pisang goreng bertabur coklat serta sebungkus rokok untuk remaja kompleks yang suka merokok. Lalu anak-anak di evakuasi ke rumah-rumah tetangga yang tidak kebanjiran. Tapi, tahun ini semuanya telah hilang. Tradisi berharga itu telah hilang…
Aku baru sadar, ternyata semuanya telah berubah. Kehidupan di kompleks ini tak seperti dulu lagi. Sahabat-sahabat muda yang kemarin masih menghidupkan kompleks dengan berbagai aktivitas bersama warga, satu persatu telah pergi. Ada yang pulang kampung karena sudah sarjana. Ada yang telah menikah dan menata hidup sendiri di luar sana. Ada yang harus pergi untuk mengejar cita-cita di tanah yang lain.
Tak terasa, anak-anak ingusan yang kemarin masih ikut lomba tujuh belas agustusan telah tumbuh besar menjadu remaja yang centil dengan dunianya sendiri. Masjid tidak lagi menjadi tempat diskusi yang mengasyikkan, tapi mereka lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam di Warnet yang setahun lalu dibangun di depan kompleks. Mereka menjadi asing dan tak lagi ramah…
Masjid berukuran kecil yang ada di jantung kompleks pun tak seramai dulu lagi. Tak ada lagi Taman Pendidikan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara indah anak-anak TPA melantunkan nasyid Shalawat Nabi. Tak ada lagi acara maulid dan isra’ mi’raj, atau halal bi halal setiap bulan syawal. Tradisi olah raga bersama juga tak kelihatan lagi. Lapangan futsal, badminton dan takraw telah ditumbuhi lumut-lumut yang tebal.
Selain itu, wajah-wajah asing warga baru kerap kelihatan tanpa mengenal namanya. Tidak ada lagi tradisi penyambutan warga baru dengan acara shalawatan dan makan ‘onde-onde’. Tetangga-tetangga berseliweran dengan mobil mewahnya tanpa senyum sedikit pun. Tak ada waktu mengenal mereka, sebab masjid pun tak pernah mereka kunjungi.
Yah…semuanya telah berubah, dan memang harus berubah. Itulah Sunnatullah. Yang membuatku sedih dari perubahan itu hanyalah fakta bahwa aku pun telah jauh berubah. Tak pernah lagi ku sempatkan bercengkrama dengan jamaah masjid selepas shalat isya. Tak lagi hadir tepat waktu untuk memimpin shalat berjama’ah. Tak lagi sempat memberikan kultum ba’da subuh atau bersiap-siap menjadi na’ib khutbah jum’at. Bahkan sekedar bercengkrama dengan ibu-ibu kompleks setiap sore tentang pendidikan anak pun tak pernah lagi ku lakukan.
Ah…terlalu cepat rasanya. Sepertinya semua itu terjadi diluar pikiran sadarku. Berlalu begitu saja, hingga hari ini kesadaran itu menyeruak dalam hati kecilku. Mengingatkan betapa tradisi indah di komplek ini telah tergerus oleh waktu. Tradisi yang menjadikan kompleks ini indah bagi banyak orang. Tapi kini, semua tinggal cerita…
2 comments:
semua tinggal cerita tapi bukan sekedar cerita,penuh makna dan inspirasi
Antum benar akhi...
Di kompleks ku, penuh makna dan inspirasi...
Post a Comment