Hari ini kesadaranku kembali diusik oleh sebuah potret hidup yang sederhana. Saat mobilku berhenti di persimpangan lampu merah. Di tengah rintik hujan yang tak begitu deras. Mataku berhenti pada sebuah motor tua dan butut dalam antrian puluhan kendaraan yang sedang menunggu lampu lalulintas berubah warna menjadi hijau. Di atas motor itu seorang Bapak yang hanya menggunkan celana selutut dan baju kaos putih yang terlihat sobekan pada beberapa bagiannya, begitu ceria tanpa menunjukkan ekspresi kedinginan oleh siraman hujan dan terpaan angin di jalan yang terbuka. Di belakangnya membonceng seorang wanita paruh baya, mungkin istrinya, yang memeluk erat sang Bapak, juga dengan pakain sederhana.
Yang membuat mataku terpaku dan enggan tuk mengalihkan pandangan ke tempat lain adalah tingkah keduanya. Ditengah cuaca yang sebenarnya tak bersahabat, mereka terlihat begitu cerah ceria. Sesekali sang Bapak bercerita lalu menoleh ke belakang dan disambut tawa oleh istrinya sambil memukul-mukul lembut punggung sang Bapak. Kemudian sang Istri juga asik bercerita lalu disambut gelak tawa sang Bapak diiringi sedikit gelengan kepala. Mereka seperti tak peduli pada hujan dan pengendara lain di sekitarnya. Mereka seperti telah memiliki dunia ini berdua saja. Dan ,mereka terus tertawa…
Sahabat, potret hari ini hanyalah satu dari sejuta potret yang mungkin ada di sekitar kita. Potret sederhana yang sepertinya ingin bercerita bahwa kebahagiaan tidak harus selalu dengan uang. Meskipun tak jarang ketiadaan uang membuat hidup tak bahagia. Namun bukan pada kepemilikan uang atau tidak yang jadi masalahnya, melainkan pada bagaimana setiap kita merespon kenyataannya. Sang Bapak dan istrinya tadi, setidaknya mengajarkan kita tentang sebuah respon bijaksana pada ketiadaan harta. Bahwa kebahagian tak harus hadir setelah ada uang…
Meskipun kita tahu, bahwa mungkin dalam penggalan hidupnya yang lain mereka harus menangis. Saat uang yang ada hanya cukup untuk membeli makan sehari, saat si anak harus menahan sakit karena tak memiliki biaya berobat ke dokter, atau saat kontrakan rumah harus segera di lunasi. Di bagian itu mungkin ada tangis. Tapi bagian itu tak mengurangi semangat mereka untuk bersyukur dan bahagia. Karena kebahagiaan adalah hak mereka…
Sahabat, terkadang pikiran kita menjadi sangat picik. Mengukur segalanya dengan uang. Bahkan kebahagiaan sekalipun. Padahal kebahagian tidak ada hubungannya dengan uang. Kebahagiaan adalah urusan hati. Jika hati kita telah dipenuhi oleh ketergantungan dan kesarakahan pada materi, maka kebahagiaan itu hanya datang ketika materi itu melimpah. Tapi bagi hati yang kaya, yang tak meletakkan materi dalam ruang-ruangnya, maka kebahagian akan meliputinya setiap saat, setiap waktu, pada setiap tempat dan suasana. Sebab kebahagiaan adalah hak setiap kita…
Sahabat, mari sejenak merenung. Membuka-buka ruang dalam hati kita. Membersihkannya dari ketergantungan pada materi dan kecintaan yang berlebihan pada dunia. Menikmati hidup apa adanya. Memaknai setiap menit yang berlalu dalam balutan syukur yang tak ada ujungnya…
4 comments:
Sahabat, mari sejenak merenung. Membuka-buka ruang dalam hati kita. Membersihkannya dari ketergantungan pada materi dan kecintaan yang berlebihan pada dunia. Menikmati hidup apa adanya. Memaknai setiap menit yang berlalu dalam balutan syukur yang tak ada ujungnya…
Duh bangggggg, kata2nya begitu menyentuhku, memaksaku untuk merenungkan kmbali arti hidup ini
nice post bro!! :)
Iya mba' Els...
Bahkan terlalu banyak hal yang mesti kita renungkan. Sebab setiap harinya kita harus mengambil keputusan2, pada hidup yang kita jalani...
Hehehe....bener juga Bang. seperti pada gambar Blognya Bang Irwan. Dunia berada di Tangan, bukan diHati...hehe...
Yah, begitulah hidup mestinya mas Doni. Tapi, kadang2 kita lebih sering lupanya dibanding ingetnya. hehehe... jadinya gak konsisten ma prinsip idup....
Post a Comment