Dalam buku “Mencari Pahlawan Indonesia”, Anis Matta sang penulis, membedakan dua kategori pahlawan berdasarkan ciri zamannya; pertama, pahlawan kebangkitan dan kedua, pahlawan kejayaan. Pahlawan kebangkitan lahir oleh dorongan kecemasan. Kecemasan adalah mata air yang memberikan mereka energi untuk bergerak dan begerak, melangkah tertatih-tatih sembari jatuh dan bangun, meraba dalam ketidakpastian. Namun, mereka bergerak. Oleh karenanya zaman lahirnya para pahlawan kebangkitan adalah zaman penuh kecemasan, keterjajahan dan penderitaan. Sehingga maha karya dari pahlawan kebangkitan adalah perlawanan dan perjuangan menghilangkan sumber kecemasan, seperti penjajahan dan tirani. Dan kerenanya, lahirlah sang legenda Jenderal Sudirman, KH. Agus Salim dan Soekarno-Hatta.
Jika kecemasan adalah energi yang melahirkan gerak pahlawan kebangkitan, maka obsesi untuk maju dan menjadi yang terbaik adalah bahan bakar pahlawan kejayaan. Pahlawan kejayaan lahir pada masa kecemasan telah berkurang dan kehidupan masyarakat relatif stabil. Masyarakat tidak lagi berfikir pada lingkaran kebutuhan pokok hidupnya seperti logistik dan keamanan. Karena itu, ada ketenangan, dan dalam ketenangan itu muncul kecenderungan untuk melahirkan prestasi, kreasi dan inovasi. Oleh karenanya, maha karya para pahlawan kejayaan biasanya paling banyak terjadi pada bidang pemikiran, kebudayaan, seni, olahraga, sains dan teknologi serta pembangunan fisik yang merupakan simbol kemajuan.
Jika kita membedah sejarah peran kaum muda Indonesia dengan dua kategorisasi sederhana di atas, maka sepanjang sejarahnya kita baru menemukan tradisi kepahlawan kaum muda Indonesia dalam masa-masa kebangkitan. Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Perjuangan Kemerdekaan, Gerakan Mahasiswa 1966, hingga Reformasi 1998, adalah momentum-momentum lahirnya pahlawan kebangkitan dari kalangan pemuda di Indonesia. Oleh karenanya ciri gerakan kaum muda saat itu sarat dengan unsur perlawanan, ketidak puasan dan gerakan massa.
Melalui momentum peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda kali ini semestinya kita bertanya, “Pahlawan jenis apakah yang dibutuhkan oleh bangsa kita saat ini?”
Sejak Pilpres tahun 2004 secara umum situasi sosial politik Indonesia relatif telah stabil. Tidak ada lagi situasi mencekam dan kecemasan sebagaimana situasi pada zaman orde baru. Bahkan transisi demokrasi pasca reformasi telah mencerdaskan sebagian besar rakyat Indonesia untuk lebih kritis dan berpartisipasi dalam proses demokratisasi. Karenanya gerakan unjuk rasa dan demonstrasi tidak lagi menjadi monopoli gerakan mahasiswa. Demonstrasi bahkan telah menjadi model penyampaian aspirasi paling populer di semua lapisan masyarakat. Mulai dari anak SD hingga asosiasi pengacara, dari pedagang kaki lima hingga anggota dewan yang terhormat, dari pengangguran hingga para guru dan pendidik. Semua, telah mampu menyampaikan aspirasinya kapan saja dan dimana saja.
Oleh karena itu saatnya kaum muda Indonesia khususnya kalangan mahasiswa mempertanyakan kembali, masihkan gerakan massa dan parlemen jalanan relevan dengan kebutuhan bangsa ini, khususnya dalam era globalisasi dan zaman digital-informasi. Masihkan bangsa ini membuthkan lahirnya pahlawan kebangkitan, ataukah bumi pertiwi justru merindukan lahirnya pahlawan kejayaan.
Menurut penulis, Indonesia hari ini sedang menanti lahirnya pahlawan-pahlawan kejayaan. Masa kebangkitan telah lewat, dan karenanya era pahlawan kebangkitan telah surut. Bumi pertiwi justeru sedang menanti bangkitnya kaum muda yang bisa mengharumkan namanya di pentas dunia. Indonesia justeru sedang membutuhkan munculnya anak bangsa yang mampu mengukir prestasi dalam sejarah peradaban manusia. Sehingga yang dibutuhkan oleh negeri ini adalah kaum muda yang mengerti akan zamannya, dan dengan ketajaman matanya mampu memilih wilayah kontribusi apa yang akan menjadi maha karyanya, untuk bangsa, dan ummat manusia tentunya.
Untuk mempersiapkan embrio-embrio pahlawan kejayaan ini, maka kaum muda Indonesia setidaknya mampu melakukan serangkaian perubahan dalam dirinya, antara lain:
Pertama, Visi masa depan yang utuh. Yaitu sebuah pemahaman yang mendalam terhadap arah perubahan zaman. Sebuah kemampuan untuk meramalkan dunia macam apa yang akan mereka hadapi di masa depan, sehingga mereka tahu dimana akan memposisikan diri di masa yang akan datang. Kemampuan ini tidak lahir dari sebuah ramalan kosong, melainkan hasil dari sebuah kajian yang mendalam terhadap berbagai data dan fakta yang menjadi trend dan pemicu perubahan. Secara teknis, kaum muda Indonesia sudah waktunya untuk membuka mata dan menyaksikan berbagai kemajuan ummat manusia di berbagai belahan dunia. Dengan itu, kaum muda Indonesia akan tersadar betapa kita sebagai bangsa telah jauh tertinggal oleh peradaban bangsa lain.
Kedua, Mentalitas bangsa pemenang. Mengapa Indonesia menjadi eksportir TKI (pembantu) paling produktif? Mengapa Indonesia menjadi negara banyak utang? Mengapa Indonesia selalu kalah dalam diplomasi? Jawabnya: karena bangsa Indonesia bermental pecundang. Bangsa kita adalah bangsa yang tidak percaya diri. Sehingga tidak heran, jika penghujat kekurangan bangsa sendiri jauh lebih banyak dari mereka yang membela dan membanggakan Indonesia. Ini masalah mentalitas. Mentalitas orang-orang kalah! Karena itu sudah saatnya kaum muda kita membangun mentalitas pemenang. Bangun kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Lihatlah dengan kaca mata pemenang betapa bangsa ini adalah bangsa yang sangat kaya. Sebab hanya dengan mentalitas sang pemenanglah Indonesia baru bisa maju, meskipun sedikit, sedikit, tapi kita tetap maju.
Ketiga, Reorientasi gerakan pemuda. Konsekuensi dari perubahan zaman adalah berubahnya tantangan dan problematika. Jika di zaman orde baru dan masa transisi demokrasi, bentuk pembelaan terhadap rakyat oleh gerakan pemuda, khususnya mahasiswa, adalah demonstrasi, maka hari ini peran-peran itu telah dilakoni sendiri oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu sudah saatnya gerakan pemuda melakukan sebuah proses reorientasi gerakan yang lebih pas dengan kebutuhan bangsa Indonesia saat ini. Disinilah kaum muda akhirnya akan melahirkan karya kepahlawannanya. Dan sebuah karya memiliki nilai kepahlawanan, jika karya tersebut merupakan kebutuhan lalu bertemu dengan momentumnya. Maka boleh jadi karya yang dinanti-nati oleh bangsa Indonesia dari kaum muda bukanlah menumbangkan kembali pemegang kekuasaan, tetapi sekelompok ilmuwan penemu obat super, sederet anak muda pencipta robot, para sastrawan referensi dunia, atau sekedar kerinduan akan trofi piala dunia. Mungkin, bangsa ini rindu karya-karya yang men-sejarah, rindu lahirnya pahlawan kejayaan...
Read More ..