Saat ini musibah sepertinya begitu akrab di telinga kita. Melalui Koran, Radio, TV, Internet, atau cerita-cerita renyah kita saat sedang ngopi di sore hari. Silih berganti musibah-musibah itu menyapa saudara kita, bahkan mungkin juga kita. Ada banjir, tanah longsor, kebakaran, gempa bumi, hingga ancaman tsunami, semuanya dihidangkan hangat melalui media massa setiap harinya…
Mata kita juga disuguhi pemandangan pilu. Ada tangis bocah yang kehilangan orang tua, ada erang kesakitan lelaki yang terhempas gempa, juga jerit pilu perempuan setengah baya yang terbakar seluruh hartanya. Semuanya menyatu dalam suguhan pagi di rumah kita…
Sahabat, terkadang semua kisah itu berlalu begitu saja. Seperti iklan komersil yang tak menarik lagi untuk disimak, apa lagi untuk dihayati dan dimaknai. Apakah ini pertanda telah hilangnya nurani kita? Mungkin tidak! Nurani kita mungkin masih pada tempatnya. Sensitivitas kita juga mungkin masih pada bentuknya. Lalu, apa yang salah?
Yang membuat musibah itu menjadi biasa-biasa saja adalah karena ia hadir setiap hari di telinga kita. Ia muncul setiap saat di depan mata kita. Ia datang silih berganti menggedor-gedor nurani kita. Hingga akhirnya, jeritannya menjadi biasa, pemandangannya menjadi biasa, tragedinya menjadi biasa. Semuanya menjadi biasa. Lalu esok datang, dengan cerita yang lain lagi. Cerita yang biasa…
Sahabat, mungkin yang kita butuhkan adalah memperbanyak taubat. Sebab musibah yang silih berganti itu adalah pesan Allah buat kita semua. Bahwa sepertinya ada yang mesti kita benahi dari diri kita, dari masyarakat kita, dari bangsa kita. Bahkan musibah itu bisa jadi pesan yang lebih keras, semacam peringatan dari Allah bahwa sepertinya kita sudah terlalu jauh meninggalkan-Nya. Sebab Dia mencintai kita, lebih dari cinta kita kepada-Nya…
0 comments:
Post a Comment